Perbankan dinilai bisa mendongkrak penyaluran kredit UMKM dengan menggunakan strategi financial supply chain. Meski demikian strategi ini bukan tanpa risiko. Untuk itu bank disarankan mengincar industri yang siklusnya cepat dan mempunyai komunitas jelas.
Oleh : Lila Intana
Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Peribahasa yang satu itu jelas mewakili efisiensi dan juga efektivitas, dua kata yang amat penting dalam dunia ekonomi, termasuk perbankan. Oleh karena itu, para pelaku perbankan tidak pernah berhenti mengembangkan cara untuk menerbitkan layanan yang bisa meraup pendapatan besar sekaligus menekan biaya operasional.
Selama ini, suku bunga kredit yang diberikan bank kepada kalangan pebisnis kecil dan mikro memang relatif lebih tinggi. Hal itu diakibatkan oleh tingginya biaya bank dalam menyalurkan pinjaman ke usaha tersebut ditambah dengan relatif kecilnya dana yang diberikan. Tak aneh kalau bank kemudian membebankan semua itu kepada nasabah lewat suku bunga yang tinggi.
Akan tetapi bank kini memiliki layanan yang bisa menekan biaya penyaluran kredit sekaligus memperbesar dana pinjaman ke usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Salah satu strategi penyaluran kredit yang sedang dijalankan bank adalah financial supply chain.
Dengan strategi itu, bank, melalui sebuah kesepakatan bisa membiayai mitra-mitra dari nasabah yang menjadi debitornya tidak hanya terkait penyaluran dana tapi juga pembayaran. Bahkan langkah itu juga bisa menyediakan layanan dan solusi keuangan yang lengkap kepada nasabah-nasabah, dari hulu ke hilir dan sesuai kebutuhan mereka.
Singkat kata, sekali ‘pukul’, dengan financial supply chain, bank bisa menggaet beberapa nasabah sekaligus. Alhasil, suku bunga yang ditawarkan bisa lebih kompetitif dibanding jika bank harus mencari nasabah satu demi satu.
Salah satu bank yang terang-terangan mengadopsi strategi itu adalah Bank Internasional Indonesia (BII). Malahan, bank yang sahamnya dikuasai investor asal Malaysia ini menargetkan sepanjang tahun ini akan menggandeng 120 pemilik perusahaan yang memiliki rantai pasokan lumayan besar.
BII tampaknya tidak akan menemui kesulitan yang berarti dalam mencapai target tersebut. Pasalnya sampai akhir semester satu saja sudah ada 89 prinsipal yang berhasil digaet, meningkat dari akhir tahun lalu yang baru mencapai 70 prinsipal. Mereka antara lain Martha Tilaar, Nestle, Astra Graphia, Acer, Asus, dan Circle K.
Prinsipal-prinsipal tersebut memiliki mitra usaha yang memasok kebutuhan-kebutuhan bisnis mereka yang kebanyakan adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dengan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan tersebut, otomatis BII bisa menyalurkan kredit kepada mitra mereka sekaligus mendongkrak pembiayaan segmen usaha kecil dan menengah.
Bahkan Direktur UKM & Komersial Jenny Wiriyanto mengaku pertumbuhan pembiayaan sektor itu hingga semester pertama telah melampaui target. “Pertumbuhan segmen ini pada Juni melebihi target yang telah dianggarkan,” kata dia.
BII menargetkan kredit UKM dan komersial dapat tumbuh 20 persen menjadi Rp 22,8 triliun di akhir tahun 2011. Akhir tahun lalu, angka kredit komersial dan UKM tercatat Rp 18,9 triliun. Hingga Maret kredit segmen tersebut sudah mencapai Rp20 triliun.”Hingga Maret memang lambat. Tetapi sesudah itu pertumbuhan industri cepat. Mereka membutuhkan investasi, jadi kredit juga ikut tumbuh,” tutur Jenny. Kebutuhan investasi itu mendorong kredit untuk UKM dan komersial BII menjadi Rp22 triliun.
Imbasnya juga terasa pada kinerja kredit BII secara keseluruhan. Sepanjang enam bulan pertama tahun ini total kredit BII tumbuh sebesar 26 persen dari Rp47,3 triliun pada semester pertama 2010 menjadi Rp59,5 triliun. Yang membanggakan adalah kontribusi kredit UKM dan komersial mencapai 36 persen, hanya kalah dari kredit konsumer sebesar 38 persen.
Pencapaian itu tak membuat BII berpuas diri. Pada Agustus lalu, BII menerima pinjaman dana sebesar Rp400 miliar dari Citibank yang rencananya akan digunakan untuk menambah daya bank tersebut dalam mengucurkan kredit sektor UKM.
Selain BII, Citibank juga tak mau ketinggalan menggunakan layanan financial supply chain yang juga disebut jaringan rantai pasokan ini. Bank asal negeri Paman Sam ini bahkan menargetkan pertumbuhan kredit mikro tahun ini naik 60 persen dibandingkan tahun lalu dengan diterapkannya strategi pembiayaan tersebut.
PENOPANG PERTUMBUHAN
Siasat layanan yang mengincar rantai pasokan dari sebuah perusahaan itu tak pelak menjadi terobosan pintar dari perbankan di tengah masih banyaknya pelaku industri UKM yang kesulitan mengakses kredit bank.
Djoko Retnadi, ekonom Indonesia Economic Intelligence, mengakui bahwa perbankan memang tengah menggenjot pembiayaan dengan skema financial supply chain “Supply chain terbukti mampu meningkatkan pendanaan dan menjadi penopang pertumbuhan kredit UMKM. Makin banyak bank yang menggunakannya,” ujar Djoko.
Sebelumnya bank kerapkali menawarkan kredit multiguna sebagai salah satu bentuk kredit UMKM dengan suku bunga yang lebih tinggi dibanding segmen kredit lainnya. Namun dengan layanan pembiayaan rantai pasokan ini bank bisa memberikan kredit kepada UMKM dengan skema yang memang ditujukan untuk mereka.
Lagipula, financial supply chain dinilai menyediakan solusi keuangan end-to-end yang lengkap ke nasabah untuk serangkaian bisnis, dari hulu ke hilir dan sesuai perkembangan kebutuhan nasabah. “Untuk supply chain, bank mengincar industri yang siklusnya cepat dan mempunyai komunitas, seperti makanan, atau kecantikan,” tambah Djoko.
Dalam kerjasamanya, bank wajib membina dan mengembangkan usaha kecil dan menengah juga mikro sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. “Supply chain pada dasarnya merupakan jaringan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan mengantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Persahabatan, kesetiaan, dan rasa saling percaya antara pengusaha dan bank sangatlah penting,” jelas dia.
Djoko memprediksi potensi segmen kredit UMKM ke depan akan terus berkembang karena saat ini baru 30 persen pengusaha yang tergolong mikro kecil dan menengah yang menerima pembiayaan perbankan.
Meski demikian, beberapa hal yang patut mendapatkan perhatian serius dari bank sebelum menjalankan atau memberikan fasilitas tersebut.“Yang harus diperhatikan adalah kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan kluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.”
Selain itu sektor UMKM juga dituntut untuk sanggup melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi permintaan konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk berkualitas tinggi, dan harga yang murah.
Bank Indonesia dalam siaran persnya mengatakan bahwa industri perbankan mematok penyaluran kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar Rp 106,6 triliun tahun ini. Hingga semester pertama 2011, industri perbankan nasional telah menyalurkan kredit UMKM hingga Rp 42,3 triliun.
Bank-bank milik negara yang dimotori oleh BRI tercatat sebagai kelompok bank yang paling banyak menyalurkan kredit UMKM sebesar Rp 29,3 triliun disusul bank swasta nasional Rp 11,9 triliun, Bank campuran Rp 266,7 miliar, dan Bank Asing sebesar Rp 448,1 miliar.
BRI memang masih mendominasi pangsa pasar untuk kredit UMKM dibandingkan dengan bank-bank lain. BRI mencatatkan kenaikan kredit sektor mikro dan kecil pada di kisaran 40 persen. Kenaikan yang cukup signifikan disebabkan karena perseroan memilki jaringan yang sangat kuat untuk sektor mikro, melalui kemitraan dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan produk kredit KUPEDES yang dikembangkan BRI untuk meningkatkan usaha kecil.
Namun dengan strategi pembiayaan rantai pasokan, bank lain berpeluang melejitkan kredit UMKM-nya sehingga dominasi BRI bisa sedikit berkurang. SP