Pembaca sekalian.
Ada kondisi yang tidak bisa dielakkan lagi oleh seluruh pelaku industri dan juga pelaku ekonomi. Yaitu fenomena pengumpulan data demi memenangkan persaingan bisnis masa depan. Fenomena tersebut pada akhirnya mencipatkan perang memperebutkan data, seperti yang terjadi belakangan ini.
Kondisi itu membuktikan sekali lagi bahwa dampak menyakitkan dari fenomena data is the new oil sudah berlangsung. Seperti halnya banyak terjadi konflik yang beberapa berujung perang dalam memperebutkan minyak bumi, perang memperebutkan data juga sudah terjadi. Indonesia sudah berkali-kali merasakannya dampaknya. Beberapa kali data milik warga Negara yang dikelola lembaga Negara atau perusahaan milik pemerintah dikabarkan bocor dan beredar serta diperjualbelikan di dunia maya. Belum lagi data yang dikelola oleh perusahaan swasta yang jumlahnya lebih sedikit. Ini tentu bukan perkembangan yang menggembirakan.
BERITA TERKAIT
Memang sampai saat ini, terkait kebocoran data baik milik korporasi swasta, BUMN, ataupun pemerintah, belum ada satu pihak pun yang mengakui secara resmi kalau data mereka berhasil dicuri. Hampir semuanya justru mengelak dan menampik bahwa datanya sudah melayang ke dunia luar. Meski begitu, hal tersebut tidak mampu menahan apriori atau kecurigaan banyak pihak bahwa sistem keamanan kita memang masih lemah dan berlobang.
Namun melihat kecenderungan seringnya berita mengenai kebocoran data baik secara massif maupun secara ritel, keresahan publik di Tanah Air tentu makin menjadi-jadi. Apalagi dengan gelombang kemunculan aplikasi pembayaran dan pinjaman online yang tidak dibarengi oleh literasi yang mumpuni dari masyarakat, membuat risiko kebocoran data makin menganga.
Di saat negara lain sudah melengkapi dirinya dengan teknologi AI yang canggih dalam menyedot dan mengelola data serta memanfaatkannya, Indonesia masih berkutat pada persoalan ketiadaan aturan yang menjamin kerahasiaan data. Kerentanan sistem keamanan di Indonesia akan membuatnya menjadi seperti pelanduk di tengah gajah-gajah yang bertarung memperebutkan data.
Lalu apakah publik hanya bisa pasrah saja dengan kondisi ini sembari menunggu lahirnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi? Tentu tidak. Nah, atas dasar tersebut Majalah Stabilitas akan mengangkat tema itu sebagai laporan utama.
Pada sajian awal akan ada pembahasan kondisi terkini menyangkut dampak negatif perebutan data setelah era digital makin memuncak. Juga mengenai modus-modus yang biasa dilakukan suatu pihak untuk melakukan kejahatan pencurian data.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai sistem dan protokol keamanan data yang diterapkan oleh lembaga keuangan yang ada di Indonesia, baik fintech maupun perbankan. Namun begitu, juga akan dibahas soal loopholes dari system yang ada.
Setelah itu akan diulas mengenai keberadaan UU PDP yang saat ini sudah disahkan pemerintah bersama DPR. Apakah saja ketentuan yang ada di aturan tersebut agar kondisi perlindungan data warga Negara terjamin. Juga dibahas mengenai praktik perlindungan data yang diterapkan oleh Negara-negara tetangga.
Berikutnya juga akan diulas kejadian pembobolan data yang sudah menimpa pengelolaan data di Indonesia selama ini. Dari data BPJS, data dari aplikasi milik Kementerian Kesehatan yaitu Indonesia Health Alert Card atau eHAC sampai data PLN dan Indihome. Juga soal Modus-modus pembobolan data seperti social engineering dan lainnya.
Last but not least, di bagian lainnya kami juga senantiasa menghadirkan artikel-artikel menarik yang membahas perkembangan terkini dari sektor keuangan dan ekonomi utama lainnya, tentu dalam kaca mata manajemen risiko. Selamat membaca.*





.jpg)









