Oleh: Syarif Fadilah
Kekompakan akan diuji hasil. Tahun ini otoritas moneter, otoritas keuangan, dan pemerintah serentak menekan industri perbankan untuk menurunkan suku bunga. Jurus yang dipakai setiap lembaga memang berbeda, tetapi tujuannya satu: suku bunga harus turun.
‘Operasi bersama’ ini sejatinya baru pertama kali terjadi, pasca pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Namun demikian ketika Bank Indonesia masih sendirian mengawasi perbankan, sudah beberapa kali kebijakan yang berupa imbauan, supervisory action, dan insentif dilakukan.
BERITA TERKAIT
Berulang kali BI mengarahkan bank untuk menurunkan bunganya namun beberapa kali pula gagal. Contohnya pada Desember 2008 ketika BI menurunkan BI Rate 25 basis poin dari 9,5 persen menjadi 9,25 persen, pada periode yang sama, rata-rata suku bunga deposito berjangka 1 bulan perbankan malah naik 35 basis poin dari 10,4 persen menjadi 10,75 persen.
Pada Agustus 2009, BI juga pernah mengultimatum perbankan agar tidak memberikan bunga deposito yang tinggi kepada nasabah. Saat itu otoritas moneter yang masih dinakhodai oleh Darmin Naution berjanji akan memantau dan mengawasi secara ketat kewajaran bunga deposito. Saat itu, bank-bank besar dipatok hanya bisa Bertaruh memberikan bunga deposito sebesar 8 persen per tahun. Seiring waktu berlalu, kebijakan itu pun hilang tanpa meninggalkan jejak keberhasilan yang bisa menjadi catatan.
Tahun ini, baik BI, OJK maupun pemerintah tentu akan mengatakan kebijakan mereka berbeda dan tentu akan mendapatkan hasil yang berbeda. Saat ini kebijakan untuk menurunkan bunga diterbitkan secara (hampir) bersama-sama. BI –sejak awal tahun–sudah menurunkan giro wajib minimum dan juga BI Rate.
OJK sudah mengeluarkan insentif pengurangan alokasi modal yang menjadi syarat pembukaan kantor cabang baru, jika bisa menurunkan Net Interest Margin dan juga rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO). Bahkan bank bisa mendirikan cabang baru tanpa harus menambah modal intinya jika bisa menurunkan keduanya dalam persentasi tertentu.
Pemerintah, masih bersiap menerbitkan aturan pengampunan pajak yang dengannya dana-dana milik warga negara Indonesia yang selama ini disembunyikan di luar negeri bisa ditarik kembali. Efeknya, likuiditas akan bertambah banyak dan bank bisa leluasa menurunkan suku bunganya.
Akan tetapi berhubungan dengan bank, sama seperti berhubungan dengan makhluk ekonomi dan pelaku bisnis murni yang berhitung laba rugi. Tidak mudah bagi bank untuk melepaskan keuntungannya atau potensi keuntungannya hanya demi memenuhi keinginan otoritas. Di tengah situasi seperti sekarang ini ketika bank masih kesulitan meningkatkan kredit karena pelemahan ekonomi, akan sulit memaksa bank meninggalkan potensi keuntungan yang bisa ia raih dari NIM.
Pengelola bank tentu tidak ingin mempertaruhkan kariernya di hadapan pemegang saham dengan taruhan kinerja keuntungan yang menurun atau kegagalan mempertahankan keuntungan sebelumnya. Begitu itu terjadi maka coreng hitam akan tergores di wajahnya dan ia akan dianggap gagal, bukan hanya oleh pemegang saham tetapi juga oleh sesama pelaku industri.
Di lain pihak otoritas pun mempertaruhkan reputasinya dalam kebijakan penurunan bunga. Jika mereka gagal, publik pun akan membuat goresan hitam di wajah mereka.





.jpg)










