JAKARTA, Stabilitas.id – Justisiari Perdana Kusumah, Managing Partner, K&K Advocates-intellectual property, mengungkap ada beberapa fakta bahwa tuntutan hukum terhadap produk palsu cukup tinggi di Indonesia karena penegakan hukum kurang efektif, pemahaman minim dan strategi yang kurang baik. Padahal, strategi yang mendetail sangat penting agar ketika melakukan tindakan hukum, dapat melakukannya secara baik.
“Pemilik HAKI harus punya strategi agar terhindar dari pemalsuan. Karena hasil peradilan tidak bisa diprediksi, maka pemilik merek yang sah bisa memiliki bukti yang sesuai ketika kasus ini dibawa ke pengadilan,” jelas Justisiari dalam Webinar bertajuk ‘Anti-Counterfeiting Issues in Indonesia – Lesson Learned’, Kamis 2 September 2021.
Dia juga mengungkapkan bahwa pemalsuan di Indonesia masih cukup tinggi karena selama pandemi ini, aktivitas masyarakat di rumah menjadi lebih akrab dengan media sosial, salah satunya belanja online.
BERITA TERKAIT
“Maka kita perlu melakukan peningkatan kesadaran karena tidak bisa hanya dilakukan pemerintah sendirian. Tuntutan terhadap produk palsu cukup tinggi maka kesadaran pemilik HAKI harus tinggi untuk tahu tentang ini,” tegas pegiat MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) ini.
Dia juga menyebutkan perkembangan kasus terkait kekayaan intelektual dalam dua tahun belakangan yang masih cukup tinggi. Ada sekitar 85-90 kasus yang ditangani Polda Metro Jaya. Lalu ada 20 kasus yang ditangani penyidik dan ada kasus yang ditangani penyidik lembaga pemerintahan.
“Kami (K&K) memiliki direktorat investigasi yang berwenang terima pengaduan dari pemilik HAKI dan jika kasusnya harus diangkat maka harus kerja sama dengan kepolisian kemudian ke kejaksaan. Ada 82 kasus di Pengadilan Jakarta. Sebanyak 15 kasus selesai di 2019, 12 kasus selesai di 2020. Kasusnya berdasarkan pelaporan pemilik HAKI,” urai Justisiari.
Dia menambahkan, pelanggaran merek tradisional terus berlangsung, dan banyak terjadi di Jakarta. “Ada 60 juta produk palsu yang tersebar di pasar Indonesia,” imbuhnya.
Yanne Sukmadewi, Wakil Ketua, Indonesian Corporate Counsel Association sepakat jika aktivitas yang serba online saat ini membuat jumlah seller juga bertambah di e-commerce. Maka dari itu, pemegang merek harus memonitor dengan cermat.
“Ini tidak bisa kita lakukan sendri maka harus kerja sama dengan tim pemasaran. Bangun awareness terkait pemalsuan dalam perusahaan. Bisa juga lakukan channel khusus pengaduan produk palsu, Lalu lakukan follow up terhadap pengaduan,” jelasnya di kesempatan yang sama.
Mengingat barang palsu itu asalnya sulit ditebak, apakah dari dalam negeri atau diimpor dari luar, maka perlu juga memonitor pabrik-pabrik yang dicurigai membuat barang palsu, lanjut Yanne.
Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat harus terus dijalankan. Sebab, kata Yanne, masyarakat kadang lupakan unsur keamanan dalam membeli barang karena lebih tergiur harga yang murah.***





.jpg)










