JAKARTA, Stabilitas.id – Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia menegaskan komitmen pemerintah dalam memberantas aksi pemalsuan di Indonesia. Kegiatan itu tidak hanya melakukan pengawasan pada aktivitas produksi, tetapi juga menyasar marketplace atuu e-commerce, dengan target penjualan barang yang melanggar paten alias palsu.
Hal itu ditegaskan Freddy Harris, Direktur Jenderal, Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Webinar bertajuk ‘Anti-Counterfeiting Issues in Indonesia – Lesson Learned’ yang digelar International Trademark Association (INTA) bekerja sama dengan K&K Advocates – intellectual property hari ini, Kamis 2 September 2021.
Freddy mengatakan, perlindungan merek di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. “Jika dulu berjalan autopilot, paten jalan sendiri, dan apa yang mau dilakukan hanya follow the wind. Tetapi sekarang clear, kami punya prinsip, penegakan hukum, perlindungan, dan komersialisasi,” tegas Freddy.
BERITA TERKAIT
Menurutnya, prinisip yang terstrutkur dan terkontrol dalam hal penegakan hukum, perlindungan paten, hingga proses komersial menjadi sangat pentng. Sebab jika tidak diatur secara administrasi seperti pencatatan merek, akan sulit dilakukan langkah enforcement.
Dia mengungkapkan, sudah banyak aksi penegakan kekayaan inteletual yang kaitkan dengan pelanggaran kekayaan intelektual. “Cukup banyak. Saya tidak tau persis outputnya seperti apa, tetapi kalau edukasi belum baik, maka masyarakat merasa boleh saja pake paten orang lain,” pungkas Freddy.
Untuk itu, dia menghimbau kempanye memberantas pemalsuan harus terus digencarkan ke banyak stakeholder. Mulai dari universitas, pemerintah daerah, organisasi-organisasi yang peduli dengan kekayaan intelektual, pelaku ekonomi kreatif, lalu ke sektor terkait komersialisasi dan penegakan hukum. “Dalam penegakan hukum kalau kesadaran belum baik maka tidak mungkin jadi sesuatu yang sukses,” tegas Freddy.
Kendati demikian, dalam isu penegakan hukum, Direktorat Kekayaan Intelektual, lanjut Freddy, terus berkomitmen melakukan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran kekayaan intelektual. Untuk mendukung proses tersebut, Direktorat Kekayaan Intelektual memperkuat SDM penegak hukum dari kepolisian. “Tahun ini suda ada direktur dari kepolisian. Jadi kita berharap ada dampak pada kesadaran akan HAKI makin besar,” harapnya.
Beberapa aksi bersama dengan Bareskrim Polri dan Ditjen Aptika Kominfo, telah dilakukan Direktorat Kekayaan Intelektual. “Kita takedown beberapa marketplace, kerja sama Ditjen Aptika Kominfo. Kita juga akan undang marketplace lain, kalo ada tas bermerek yang fake, kita akan tindak, kita sudah ke arah penegakkan hukum,” katanya.
Karena konsen pengawasan Direktorat Kekayaan Intelektual dengan online sistem marketplace, e-commerce, Freddy berharap di tahun depan akan ada penambahan personil PPNS. “Sekarang sudah ada 33 PPNS baru. Kita kekurangan PPNS, harus ditambah sehingga pengaduan HAKI di wilayah bisa ditangani dengan baik,” harapnya.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga menyederhadakan proses pencatatan merek, dari sebelumnya 9 bulan menjadi 3 bulan saja. Tidak hanya itu, dalam UU Merek yang baru, pembeda merek tidak sekedar nama, warna, logo, tetapi memasukan unsur hologram. “Sekarang banyak teknologi digital dan AI (artificial intelegent), saya harap dengan adanya percepatan pendaftaran, semoga bisa gunakan AI sehingga prossnya lebih cepat. Pemeriksaan juga optimal,” pungkas Freddy.
Sebab itu, kepada masyarakat juga terus diedukasi bahwa mendaftarkan dengan mengadopsi AI, maka ada potensi terjadinya penolakan dan kesamaan dengan merek yang sudah terdaftar. Karena menurut Freddy, pemeriksaan persamaan dengan pokok merek terdaftar memerlukan kriteria sensitif yang tinggi.
“Harus memenuhi 3 poin, yakni harus ada unsur pembeda, persaingan usaha yang sehat dan perlindungan konsumen. Filosofinya itu.”***