Beberapa tahun terakhir, dalam industri perbankan muncul istilah-istilah yang baru di telinga masyarakat. Di antaranya adalah office channelling, shadow banking, inklusi keuangan, literasi keuangan sampai branchless banking. Istilah-istilah tersebut sejatinya muncul karena sebuah keinginan, agar bank berperan lebih besar lagi dalam melayani kebutuhan keuangan masyarakat.
Di Indonesia, meski lembaga perbankan sudah dikenal luas, namun pemahaman akan peran bank dan pemanfaatan produk dan layanannya, boleh dibilang masih minim. Kondisi yang diistilahkan dengan tingkat literasi keuangan rendah inilah yang ingin diperbaiki. Dan lembaga perbankan memiliki kewajiban yang tidak kecil untuk mewujudkannya.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi Keuangan yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK), angka indeks masyarakat Indonesia hanya sebesar 21,80 persen. Berarti, setiap 100 penduduk Indonesia terdapat 22 orang yang memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap lembaga perbankan, produk dan jasa perbankan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa perbankan.
Kalau indeks literasi keuangan rendah, apakah masyarakat tetap bisa dan mau menggunakan jasa lembaga keuangan meskipun institusinya sudah terbuka? Pertanyaan itu pun menyelinap masuk ke semua pemangku kepentingan di industri keuangan.
Akan tetapi, pertanyaan itu bukanlah tipikal pertanyaan ayam-telur yang memiliki kebingungan tentang apa yang harus hadir terlebih dahulu. Bahkan otoritas tampaknya sudah punya jawaban apa yang semestinya dilakukan terlebih dahulu. Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Kusumaningtuti S. Soetiono mengatakan, “Salah satu faktor yang bisa menjadi pendorong terjadinya keuangan inklusif adalah meningkatnya literasi keuangan di masyarakat,” kata dia.
Untuk itulah sejak akhir tahun lalu otoritas yang mulai tahun ini mengambil alih fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia meluncurkan sebuah program untuk meningkatkan tingkat melek keuangan.
Ada tiga hal yang menjadi bidikan agar masyarakat lebih paham soal industri keuangan. Pertama adalah edukasi dan kampanye nasional literasi keuangan. Sasaran dari program ini adalah sekolah, mahasiswa, ibu rumah tangga hingga pengusaha ekonomi lemah yang akan diterapkan mulai tahun ini hingga akhir tahun depan. Selanjutnya pada 2016-2017, pekerja formal, informal dan kelompok masyarakat lain menjadi sasaran.
Kedua adalah penguatan infrastruktur literasi keuangan. OJK akan meluncurkan mobil literasi keuangan untuk menjangkau masyarakat terpencil, serta peraturan tentang perlindungan konsumen. Ketiga adalah pengembangan produk dan layanan jasa keuangan yang terjangkau.
Ketiga upaya regulator itu pada akhirnya bertujuan agar masyarakat yang tadinya belum menggunakan jasa lembaga keuangan, mulai bisa memanfaatkannya. Untuk sektor perbankan, tentunya akan makin banyak orang yang menggunakan jasa bank. Namun demikian, strategi banking the unbanked itu tidak bisa serta merta terlaksana jika lembaga perbankan tidak punya hasrat untuk merangkul lebih banyak orang.
Banyak hal yang bisa dilakukan perbankan untuk lebih banyak membuat orang-orang yang belum berbank agar memiliki nomor rekening, beberapa di antaranya bahkan sudah dilakukan.
Layanan mobile banking atau electronic money, yang sudah dijalankan bank sejatinya merupakan pintu masuk buat lebih banyak orang menuju perbankan. Namun selama ini, layanan itu mengharuskan masyarakat untuk memiliki nomor rekening terlebih dulu. Padahal masyarakat yang tinggal di desa-desa masih enggan datang ke kantor bank untuk sekedar membuka rekening.
Mulai tahun lalu, layanan tersebut disempurnakan dengan adanya program mobile payment system yang diluncurkan Bank Indonesia. Dengan itu, nantinya masyarakat tidak perlu harus ke bank untuk membuka rekening dan hanya membutuhkan nomor telepon selular. Strategi yang juga disebut branchless banking itu dinilai sebagai solusi jitu untuk membuat orang-orang yang belum pernah berbank untuk segera menggunakan jasa perbankan.
Dengan layanan bank tanpa kantor cabang, masyarakat tetap bisa menggunakan jasa keuangan seperti pinjaman atau tabungan hanya dengan mendatangi tempat yang ditunjuk sebagai perantara. Perantara yang juga disebut agen ini bertindak untuk dan atas nama bank penerbit produk keuangan atau telekomunikasi yang menerbitkan e-money dan memberikan layanan sistem pembayaran.
Model bisnis yang dapat dilakukan oleh agen adalah bank-led yaitu bank yang bertanggung-jawab melaksanakan kegiatan jasa perbankan dari awal sampaidengan akhir. Telco-led yaitu perusahaan telekomunikasi bertanggung-jawab terhadap kegiatan transfer dari awal sampai dengan akhir. Dan Hybrid yaitu kombinasi keduanya.
Bagi BI, dari ketiga model bisnis, sistem yang pertama cenderung lebih dipilih. Bagi BI hal lebih menjamin prudensial dan keamanan serta pengawasan dari layanan dan produk yang digunakan nasabah. “Kami cenderung memilih bank-led,” tutur Mulya E. Siregar, Asisten Gubernur Bank Indonesia.
Inklusi keuangan, kata dia juga tengah marak dibahas di forum global. Untuk mewujudkan keuangan inklusif, Mulya mendorong perbankan untuk mewujudkannya melalui edukasi keuangan terhadap masyarakat dan meningkatkan jangkauan distribusi perbankan ke daerah pelosok.
Di India, perantara itu disebut business correspondent atau perwakilan bank lokal, yang mengambil peran perbankan ke depan pintu orang di pelosok desa di seluruh India. Mereka membantu penduduk desa India sebagian besar buta huruf memahami dasar-dasar perbankan.
Pembiayaan Mikro
Hal lain yang sudah dilakukan bank adalah pembiayaan mikro. Namun demikian, selama ini bank juga memiliki kesulitan untuk merangkul pelaku usaha mikro karena sebagian besar dianggap unbankable atau tidak memenuhi persyaratan formal untuk mendapatkan pinjaman.
Pemerintah mencatat dari 56,4 juta UMKM yang ada di seluruh Indonesia, baru 30 persen yang mampu mengakses pembiayaan. Sisanya, masih belum tersentuh perbankan. Penolakan lembaga keuangan kepada UMKM karena sebagian besar pelaku usaha belum bisa memisahkan keuangan pribadi dan bisnisnya.
Dari persentase tersebut sebanyak 76,1 persen mendapatkan kredit dari bank dan 23,1 persen mengakses nonbank termasuk usaha simpan pinjam seperti koperasi. “Persoalan tidak adanya agunan masih menjadi persoalan UMKM sulit mengakses kredit perbankan. Padahal, mereka perlu tambahan modal untuk pengembangan usaha,” jelas Deputi Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Meliadi Sembiring.
Sejak krisis hebat akhir 90-an, sektor UMKM di Indonesia memberi sumbangsih yang tidak sedikit pada perekonomian nasional. Menurut catatan Bank Indonesia sektor itu menyumbang 57,8 persen dari PDB nasional dan menyerap 97,7 persen tenaga kerja serta merupakan komponen terbesar (99,9 persen) dari total unit usaha di Indonesia.
Dalam situs resmi bank sentral disebutkan kendala yang dihadapi UMKM Indonesia cukup berat baik dari sisi pembiayaan maupun sisi pengembangan usaha. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala teknis, seperti tidak mempunyai agunan, maupun kendala non teknis karena terbatasnya akses informasi ke perbankan.
Partisipasi Industri
Dalam upaya menjadikan bank lebih inklusif bagi masyarakat berpendapatan rendah, Bank Indonesia telah menetapkan enam pilar strategi yang meliputi edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan, fasilitasi intermediasi dan saluran distribusi serta perlindungan konsumen. Dalam implementasi pilar-pilar tersebut, peran perbankan yang menguasai sekitar 80 persen dari industri keuangan di Indonesia jelas sangat diharapkan.
Kalangan perbankan sendiri tak pelak dapat mengambil keuntungan dari keberhasilan program inklusi keuangan. Malahan Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo berpendapat, perbankan harus menjadi motor penggerak inklusi keuangan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan. “Misalnya melalui program sosialisasi dan edukasi masyarakat terhadap layanan perbankan, melayani pembukaan rekening simpanan Tabunganku bagi masyarakat lapis bawah dan kegiatan corporate community responsibility (CCR) yang berorientasi pada pengembangan masyarakat,” kata Gatot.
Pada sebuah cara internasional di Bali Oktober lalu, Gatot memaparkan pentingnya akses masyarakat terhadap layanan lembaga keuangan formal. Strategi itu sudah diterapkan di Peru dan Filipina, dan negara itu mendapat keuntungan berupa pertumbuhan ekonomi yang kuat. “Presiden Humala (dari Peru), beliau sudah menjadikan inklusi bagian dari agenda ekonomi komprehensif. Presiden Humala fokus pada daya saing dan menarik investasi serta pada saat bersamaan mengembangkan kebijakan sosial untuk rakyatnya,” kata Gatot.
Sementara itu, Presiden Aquino sudah mengalihkan pertumbuhan yang pesat menjadi lebih inklusif. Filipina merupakan salah satu negara dengan perekonomian yang meningkat di Asia. Aquino melakukan reformasi sosial dan struktural pada banyak sektor.
Di sisi lain, untuk makin mengefektifkan program inklusi keuangan, perbankan juga bisa melakukan sinergi antarbank dan antarlembaga keuangan mikro dengan lembaga nonkeuangan. Perbankan juga bisa mengembangkan sistem komunikasi dengan dukungan teknologi informasi yang tepat guna memberikan pelayanan jasa keuangan yang aman, cepat dan terpercaya.
Menurut Gatot, BNI, sebagai bank BUMN, memiliki kewajiban untuk menyokong program pemerintah. Salah satu yang terus dilakukan bank itu adalah memperluas akses layanan melalui penambahan ATM di seluruh pelosok Tanah Air. BNI juga terus meningkatkan peran Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), terutama pada pengembangan usaha yang dinilai belum bankable, misalnya dengan mengembangkan “Kampoeng-kampoeng BNI” yang bertumpu pada keunggulan karakteristik perekonomian lokal seperti industri kreatif.
Sementara itu, mengenai branchless banking, Head of Sales BTPN Donny Prasetya mengatakan hal itu juga merupakan upaya menyukseskan inklusi keuangan bagi masyarakat yang unbanked. “Inklusi keuangan bertujuan meniadakan hambatan masyarakat memanfaatkan layanan jasa keuangan,” katanya.
BTPN merupakan salah satu bank yang menjadi pelopor implementasi branchless banking. Bank yang fokus bisnisnya pada pensiunan itu mengembangkan layanan perbankan bagi mass market dengan memanfaatkan teknologi telepon genggam dan didukung jasa agen. “Peran agen sangat penting sebagai perpanjangan tangan BTPN untuk meningkatkan jangkauan layanan kepada nasabah di seluruh pelosok Indonesia,” kata Donny.
Dengan branchless banking, masyarakat unbanked tetap dapat membuka rekening dengan menggunakan dokumen lain sebagai pengganti identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada bank tentang profil calon nasabah seperti tercantum dalam aturan BI. Masyarakat juga tak harus datang ke bank karena bank sudah mendelegasikannya kepada agen sepanjang agen tersebut telah mengetahui prinsip dasar setelah sebelumnya mendapat pelatihan dari bank.