Laura Valentin, Fakulti LPPI
AKHIR-AKHIR ini muncul sebuah fenomena yang menarik minat para pemerhati isu-isu pengembangan Sumber Daya Manusia. Banyak generasi muda yang belum lama bekerja tiba-tiba resign yang pada akhirnya menerima cap “tidak loyal” kepada perusahaan.
Tingkat turnover di berbagai perusahaan meningkat beberapa tahun terakhir. Beberapa yang memutuskan resign bahkan tidak peduli dengan besarnya pinalti yang harus dibayarkan atas keputusan resign yang diambil. Lebih parahnya lagi, sebagiannya adalah talenta bagi perusahaan, yang sudah direkrut dengan investasi yang tidak sedikit. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri, terlebih di industri perbankan untuk mengelola generasi yang kita sebut saja “the braver”.
Pengelolaan SDM adalah serangkaian proses yang berkesinambungan dan tidak dapat lepas satu sama lain meliputi Planning, Attaining, Developing Maintaining, and Retaining (PDMR). Proses pengelolaan talen sendiri berada pada proses Developing. Mencoba menilik berbagai kemungkinan munculnya fenomena “the braver”, ada baiknya kita kembali menguji proses planning dan attaining perusahaan. Bagaimana proses rekrutmennya, kompetensi yang diukur dan alat tes apa yang kita gunakan dalam proses seleksi, bagaimana proses asesmen yang dilakukan. Perusahaan perlu juga melihat posisi tawarnya dalam hal remunerasi, kompensasi dan benefit, serta nilai-nilai perusahaan.
Identifikasi talenta yang paling umum digunakan dalam organisasi adalah dengan metode 9 Box Matrix. Kita mengelompokkan para talenta ke dalam 9 kotak kriteria, menggunakan potret masa lalu (kinerja) dan proyeksi masa depan (potensi). Treatment masing-masing penghuni kotak pun berbeda, tergantung posisi kotak talenta. Dapat berupa pemberian job assignment, penugasan dengan unit kerja lain, pemberian kursus tertentu, dan lain sebagainya. Bagi organisasi, kegiatan ini adalah investasi. Treatment yang keliru bisa jadi menyebabkan potensi talenta tidak muncul, yang merupakan sebuah kerugian. Para talenta yang merasa tidak dikembangkan dengan baik selalu memiliki opsi untuk pindah, dan sayangnya opsi ini banyak dipilih.
Kemampuan cognitive flexibility dari perusahaan maupun pegawai menjadi kunci bagi pengelolaan talenta. Secara definisi cognitive flexibility adalah properti intrinsik dari sistem kognitif yang sering dikaitkan dengan kemampuan mental untuk menyesuaikan aktivitas dan kontennya, beralih di antara aturan tugas yang berbeda dan respons perilaku yang sesuai, mempertahankan banyak konsep secara bersamaan dan mengalihkan perhatian internal di antara mereka (William A. Scott, 1962).
Atas dasar definisi tersebut pegawai harus dapat dengan cepat merespons tuntutan perusahaan atas berbagai perubahan yang terjadi khususnya di era digitalisasi. Meningkatkan (upgrade) kemampuan diri adalah cara efektif untuk beradaptasi dan membuat nilai (value) pekerja akan meningkat secara otomatis. Demikian pula perusahaan harus dengan cepat melihat sinyal peringatan baik bersifat eksternal atas kondisi ekosistem bisnis yang menantang, maupun bersifat internal misalnya adanya peringatan angka turnover yang meningkat.
Penyesuaian yang segera dibutuhkan saat ini, adalah menumbuhkan optimisme positif. Organisasi dapat memandang fenomena “the braver”sebagai opportunity bahwa bursa tenaga kerja kita sangat kompetitif dan berkualitas. Selanjutnya bergantung seberapa kemampuan kita mencari yang sesuai dengan value organisasi dan melakukan development yang tepat sesuai potensi SDM perusahaan yang berharga.
Perusahaan dituntut mencari sistem pengelolaan pegawai talenta yang tidak mengandalkan loyalitas jangka panjang dari pegawainya. Kesalahan yang pada umum terjadi adalah berharap memperoleh hasil yang berbeda dengan upaya yang sama. Mungkin saatnya kita lebih adaptif dalam mengelola SDM, karena sustainability bisnis perusahaan pada dasarnya berlandaskan pada kemampuan perusahaan mengelola SDM-nya.
Perusahaan dapat memilih berbagai pendekatan sebagai wujud penyesuaian atas fenomena SDM belakangan ini. Misalnya dengan memberikan keleluasaan bagi SDM perusahaan untuk memilih tempat bekerja, atau memilih waktu lembur mereka. Di beberapa perusahaan, pegawai diberikan kebebasan untuk bekerja secara remote dan mengatur sendiri waktu kerja mereka, dengan target waktu dan output kerja yang terukur. Hal ini memberikan dampak positif terhadap engagement pegawai terutama pegawai muda dan semangat kepercayaan perusahaan terhadap mereka.
Opsi lain yang juga bisa menjadi alternatif adalah memberikan opsi lembur yang fleksibel, bisa dilakukan di pagi hari sebelum jam operasional kantor, atau di sore hari setelah jam kerja selesai. Karena pada kenyataannya banyak pegawai yang memilih bekerja lebih pagi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, namun tidak terhitung sebagai overtime.
Upaya ini nampak sepele, namun berarti bagi para talenta muda. Perusahaan dapat melakukan berbagai pendekatan yang tentunya perlu melihat pula pada kesesuaian dengan karakteristik bisnis dan SDM-nya. Yang menjadi titik penting adalah baik perusahaan maupun pegawai perlu sama-sama bergerak dengan cepat menuju keseimbangan baru, yakni dengan pergeseran set mental, pergeseran kognitif, pengalihan/pergeseran tugas, dan pengalihan/pergeseran perhatian yang bertujuan untuk peningkatan nilai bagi individu pegawai maupun perusahaan di era disrupsi ini.***





.jpg)










