Kehadiran aset-aset kripto tak bisa ditolak. Regulator melunak. Pamor alat-alat investasi digital yang muncul pertama kalinya sebagai alat tukar ini akan memuncak.
Oleh Syarif Fadilah
Otoritas keuangan memiliki sifat alami dalam menghadapi perkembangan terbaru di pasar: mencoba menghindari risiko dan mulai mengatur jika muncul kasus yang merepotkan sistem keuangan. Tetapi mereka mengistilahkan sifat itu sebagai kehati-hatian. Dalam era dimana hampir semua pelaku usaha berlomba untuk menjadi digital, sifat ini akan membuat ketertinggalan otoritas dari perkembagan bisnis makin terlihat.
Inovasi keuangan yang ada di industry keuangan adalah salah satu perkembangan yang tak bisa ditolak bank sentral dan otoritas keuangan lainnya. Perkembangan ini telah membuat instrument-instrumen keuangan yang ada semakin rumit dan sulit dikendalikan.
BERITA TERKAIT
Cryptocurrency adalah perkembangan mutakhir yang muncul 2017 lalu peredarannya timbul tenggelam, namun pamornya makin menjadi ketika era digital sudah menyentuh nyaris semua hal. Bitcoin –mata uang kripto yang paling terkenal menjadi landmark betapa kini kehadirannya tidak bisa dinafikan.
Otoritas keuangan tentu tersentak karena tiba-tiba saja ada lembaga swasta yang menerbitkan uang atau alat tukar, hal yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh bank sentral. Kontan saja, atas nama kehati-hatian, otoritas melarang peredarannya sejak awal kemunculan hingga saat ini. Bahkan OJK terus mewanti-wanti publik untuk menghindari keterlibatan dengan investasi digital ini.
Otoritas perbankan mengingatkan sejumlah risiko jika menaruh dana di aset kripto dan meminta masyarakat untuk berhati-hati ketika menggunakan aset tersebut sebagai instrument investasi. Sementara bank sentral memiliki pikiran lain. Alih-alih harus menyerah dan menggunakan cryptocurrency buatan swasta itu, kenapa tidak bank sentral sendiri yang menerbitkan mata uang digital itu. Maka dari itu tercetuslah ide untuk menerbitkan apa yang disebut central bank digital currency (CBDC).
Pada Mei, BI kembali mengulangi pernyataannya pada Februari mengenai rencana penerbitan CBDC. “BI merencanakan menerbitkan CBDC sebagai alat pembayaran yang sah, sebagai instrumen yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). [Kami akan mengatur mulai dari] perancangan hingga peredarannya seperti uang kertas dan di berbagai kartu debit dan kredit,” ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI dalam konferensi pers di Jakarta.
Mata uang digital resmi ini dikatakan BI berbeda dengan uang kripto seperti bitcoin dan lainnya yang sudah beredar luas. Cryptocurrency tidak diregulasi oleh regulator manapun dan sebagian pasokannya terbatas. Sementara mata uang digital, nantinya akan dibentengi dengan firewall untuk menghindari serangan siber. Bank sentral akan menyiapkan desain dan sistem keamanan sebelum masyarakat bisa menggunakan mata uang digital.
Meski demikian BI masih melakukan kajian untuk melihat potensi dan manfaat mata uang digital serta menentukan perbedaan desain dan arsitektur CBDC yang akan dipilih, dan mitigasi risikonya. Harus diakui efek disrupsi dari cryptocurrency tidak hilang meski mata uang itu dikeluarkan oleh bank sentral.
“Kalau nanti CBDC diterbitkan dan masyarakat bisa mendapatkan uang digital itu langsung dari BI, lalu bagaimana nanti nasib bank. Nanti bank akan hilang karena tidak diperlukan lagi financial intermediation,” kata Erwin Haryono Direktur Direktorat Komunikasi BI, kepada Stabilitas.
Menurut dia wacana penerbitan CBDC ini bukan hanya di Indonesia tapi dilakukan otoritas moneter dunia lainnya. BI mengaku terus berkoordinasi dengan baik sentral lain, termasuk lewat forum internasional guna pendalaman penerbitan mata uang digital resmi dari bank sentral itu.
BI sejatinya sudah melakukan riset tentang kemungkinan BI menerbitka CBDC. Selain mengkaji serius mengenai efek disrupsi, otoritas juga menelaah mengenai teknologi yang digunakan misalnya apakah akan menggunakan blockchain yang ada sekarang, atau dengan memodifikasinya.
“Poin pentingnya adalah BI siap masuk ke arah itu. Karena mandat yang dipikul BI bahwa BI harus menerbitkan dan mengelola rupiah. Jika nanti preferensi masyarakat bergesar ke arah mata uang digital, maka BI siap menerbitkan rupiah digital,” jelas Erwin.
Saat ini BI fokus mendesain CBDC yang dampak disrupsinya tidak berbahaya bagi perekonomian dan juga makroprudensial serta bisa efektif untuk instrument kebijakan moneter dan pada saat yang sama ia dapat menggunakan teknologi masa depan yang digunakan untuk alat transaksi. “Tetapi kalau ditanyakan kapan BI menerbitkan CBDC, kami belum bisa menjawabnya karena bank sentral lain juga belum melakukannya,” ujar Erwin.
Naik Daun
Sementara BI mengambil sikap untuk mengimbangi keberadaannya, aset-aset kripto lambat laun sudah mendapat tempat di pasar keuangan. Oscar Darmawan salah seorang pegiat bisnis cryptocurrency mengatakan transaksi bitcoin di Indonesia memang tergolong kecil, yaitu hanya 1% dari transaksi volume global. Menurutnya, kenaikan volumenya tidak terlalu signifikan dibandingkan tahun 2017 lalu.
Akan tetapi sisi positif saat ini di Indonesia, bitcoin sudah ditetapkan sebagai komoditas dan dilindungi kepemilikannya oleh hukum. Langkah selanjutnya menurut CEO Indodax tersebut, Indonesia akan berusaha menjadi salah satu tempat transaksi bitcoin yang dikenal di masyarakat global. “Indonesia sedang berusaha mengejar ketinggalan dan sejajar dengan negara-negara maju lainnya di bidang kripto maupun blockchain,” kata dia.
Indodax adalah startup teknologi finansial di bidang aset-aset kripto dan blockchain seperti bitcoin, etherium, ripple dan 130 nama lainnya dari seluruh dunia.
Oscar menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menggunakan cryptocurrency sebagai alat pembayaran. Ditambah lagi dengan adanya pernyataan bahwa pemerintah akan membuat uang digital atau melakukan digitalisasi rupiah.
“Bitcoin, kripto dan produk dari teknologi blockchain lainnya juga hadir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Teknologi finansial itu juga lahir untuk meningkatkan literasi keuangan digital di Indonesia,” sambung Oscar.
Di sisi lain, Oscar menyatakan, setiap bentuk komoditas memiliki fungsi atau utilitas dan fundamental yang berbeda-beda. Sehingga, setiap aset memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Seperti bitcoin yang merupakan aset digital yang tidak memiliki bentuk fisik. Tentunya, memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan aset lain.
Dia juga menjelaskan salah satu karakter dari kripto yaitu fluktuasi yang cukup tinggi. Ini terjadi karena transaksi yang terjadi selama 24 jam dengan market yang terhubung di seluruh dunia. Kapitalisasi bitcoin sendiri masih relatif lebih kecil dibandingkan market komoditas lain hanya sebesar 2 triliun dollar AS.
Namun, Oscar menyatakan bahwa harga kripto, seperti bitcoin tidak bersifat manipulatif bahkan orderbook nya transparan di seluruh dunia. Karena bitcoin itu mengadopsi teknologi blockchain yang bersifat transparan dan aman. “Harga Bitcoin di seluruh dunia itu hampir sama. Karena marketnya itu seluruh dunia. Transaksinya juga tercatat dan transparan,” sebutnya.
Terakhir dia mengatakan bahwa yang terpenting adalah investor harus mampu mengenali dimana mereka mengamankan uang atau asetnya. Investor juga perlu melihat portofolio aset, keuntungan beserta risiko. Setiap investor tentunya harus mampu mengukur dan memperhitungkannya dengan baik.





.jpg)










