Bank syariah mendapat tantangan regulasi berupa kewajiban spin off paling lama 2023 nanti. Namun demikian munculnya rencana untuk mengubah kewajiban itu menjadi sebuah opsi bagi bank membuat pengelola bank menghadapi dilema..
Oleh Romualdus San Udika
Satu setengah dekade lalu ketika ghirah berbank syariah yang meninggi tidak berhasil mendorong kinerja perbankan syariah, pemerintah merilis aturan yang berniat mendongkraknya. Melalui Undang-Undang No 21 Tahun 2008, pembuat kebijakan memberi batasan pada 2023, bank syariah yang masih menjadi unit usaha di bank konvensional, untuk memisahkan diri dari induknya. Pilihan lain, induk bank itu mengubah diri menjadi bank syariah. Aturan spin off atau konversi ini dinilai bakal jadi senjata ampuh untuk mendongkrak bank syariah paling lama 15 tahun sejak aturan tersebut terbit.
Akan tetapi angin kebijakan berhembus ke arah lain. Meski sudah ada beberapa bank yang memenuhi aturan itu beberapa tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendak mengubah aturan mandatory itu menjadi sekadar voluntary.
BERITA TERKAIT
Dimulai pada 2020 ketika melansir POJK 59/POJK.03/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS). Berlandaskan aturan itu, pemisahan UUS dari bank konvensional dapat dilakukan dalam tiga cara. Pertama, mendirikan bank syariah baru. Kedua, mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada bank syariah yang telah ada. Ketiga, mengalihkan hak dan kewajiban kepada bank konvensional yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank syariah.
Bahkan secara terang-terangan OJK berencana untuk menghapus kewajiban bank untuk spin off bank syarih dari induknya. Otoritas telah menyampaikan usulan tersebut kepada Kementerian Keuangan sebagai penyusun Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). “Hal ini agar spin off dapat dilakukan secara sukarela memperhatian kesiapan bank. Jadi sifatnya bukan mandatory (wajib),” kata Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK, Nyimas Rohmah.
Usulan tersebut dilandasi atas pertimbangan bahwa kinerja bank syariah dalam bentuk unit usaha selama ini sudah cukup baik. Selain itu, mereka dapat memanfaatkan sinergi dengan induk secara penuh karena masih dalam satu entitas. Melalui kerjasama dengan induk, biaya operasional UUS menjadi lebih efisien dan penyaluran pembiayaan juga lebih besar. Oleh karena itu, ia berharap perbankan syariah bisa secara aktif mengembangkan produk dan layanan yang berdaya saing sesuai kebutuhan masyarakat.
Menanggapi hal itu, Direktur CIMB Niaga Syariah, Pandji P. Djajanegara mengatakan keputusan spin off atau tidak akan sama baiknya. Asalkan, perbankan punya strategi untuk memperbesar portofolio syariah serta dibarengi regulasi yang mendukung. “Paling penting bagaimana membesarkan syariah dan menjaganya dari sisi tata kelola, risiko dan kepatuhan. Percuma saja, kalau punya satu bank tersendiri tapi tidak menerapkannya secara baik,” kata Pandji.
Kendati demikian, pelaku bank syariah tentu menghadapi dilema. Di satu sisi mereka mungkin saja menyambut gembira aturan OJK ini karena sejak awal mereka memang enggan melepaskan diri dari berbagai fasilitas jaringan induk yang sudah mereka nikmati selama ini.
Di sisi lain, selama belum ada aturan baru, bank syariah yang masih berwujud unit usaha itu tetap berada dalam bidikan undang-undang yang mewajibkan mereka untuk spin off paling lambat 2023. Padahal untuk mempersiapkan strategi itu paling tidak membutuhkan waktu dua tahun.
Sementara, diperkirakan aturan baru yang tidak mewajibkan pemisahan usaha paling cepat keluar pertengahan tahun 2022. Nah, ini yang menjadi pekerjaan ganda dari perbankan syariah apakah mulai melakukan persiapan spin off, tapi aturannya kemungkinan bisa berubah. “Ini bisa menjadi salah satu opsi bank untuk memilih tidak memisahakan diri dan ini menjadi kerjaan tambahan. Artinya, kami sudah bekerja, tapi tahun depan diperbolehkan tidak spin off. Kami akan stop pekerjaan ini,” ujar Pandji.
Jika memang dibolehkan aturan, CIMB Niaga Syariah, lanjut dia, tetap ingin berbentuk UUS. Sebabnya untuk menjalankan kewajiban spin off, bank harus menyiapkan dana yang besar. Padahal saat ini induknya tengah menghadapi ancaman kredit bermasalah yang tentunya membutuhkan dana yang besar pula. “Perbankan tidak mengetahui akan sampai kapan efek program restrukturisasi kredit (karena pandemic) akan berakhir. Salah satunya terkait masalah kredit (NPL) akibat restrukturisasi,” tambah Pandji.
Karenanya alih-alih dana besar itu dipakai untuk mendirikan bank syariah baru, lebih baik dana itu digunakan untuk menyelesaikan kredit macet yang akan muncul pada tahun 2023. “Lebih baik permodalan itu untuk menyelesaikan masalah yang lebih utama. Namun jika tetap wajib spin off, Pandji ingin agar leverage benar-benar digunakan seluruhnya untuk bisnis syariah,” tukas Pandji.
Sementara Direktur Utama Bank Sulselbar, Amri Mauraga mengatakan, dengan melihat potensi market syariah yang sangat besar, Bank Sulselbar sebelumnya telah menyusun blueprint dengan target tahun 2023 akan melakukan spin off. Namun melihat arah regulasi terkini sebagaimana disebutkan tentang konsolidasi bank, maka tentu di perlu diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap blueprint rencana tersebut.
“Kita juga melihat ada regulasi baru lalu ada arahan dari Pak Wapres Moh Ma’ruf Amin agar BPD melakukan konversi menjadi Bank Umum Syariah. Itu juga salah satu hal yang perlu kita diskusikan,” ungkap Amri.
Dual Banking
Di sisi lain, Amri berharap ketentuannya nanti jika ada perubahan membolehkan bank tetap beroperasi secara (dual banking). Dalam sebuah survey yang dilakukan Bank Sulselbar kepada nasabah, sebanyak 80 persen mendukung untuk melakukan konversi, sisanya 20 persen tidak setuju. Selain nasabah, survey terhadap masyarakat non nasabah juga mayoritas hingga 80 persen, mendukung untuk melakukan konversi menjadi bank Syariah.
Namun semua keputusan menjadi hak dari pemegang saham sehingga membutuhkan proses yang cukup panjang. Maka dari itu, Amri menegaskan bahwa ketika rencana spinoff ‘agak kendor’ maka harapannya adalah opsi dual banking ini tetap bisa dijalankan. “Walaupun sebenarnya dual banking sistem ini kalaupun setuju menjadi opsi yang ke-2 setelah mengkonversi,” pungkas dia.
Pengamat Ekonomi UIN Alauddin Makassar, Wahyuddin Abdullah menyampaikan, rencana mengkonversi Bank Sulsebar menjadi bank syariah perlu didukung. Sebab keberadaan bank syariah akan menambah referensi bagi nasabah untuk berelasi. Seperti halnya bank luar negeri, misalnya Islamic Britania Bank (IBB) London.
Selain itu, Wahyudin menyampaikan sejumlah keuntungan BPD jika menjadi Bank Syariah,di antaranya akan meningkatkan pangsa pasar keuangan ekonomi syariah di Indonesia. “Konversi ini akan menigkatkan pangsa pasar, dana pihak ketiga, dan ekuitas, dan pada akhirnya menguatkan fundamental BPD Sulselbar,” paparnya.
Namun kelemahannya, hanya penyusaian sistem operasional baru yang sesuai syariah, juga produk yang ditawarkan tentu akan menyesuaikan syariah, yaitu return tidak pakai bunga, tetapi bagi hasil, dan penggunaan akad berbasis syariah. “Tapi hal ini pun adaptasinya tidak membutuhkan waktu yang lama, selama kemauan itu sudah bulat untuk mengkonversi ke sistem syariah tersebut,” pungkas dia.
Perubahan arah kebijakan bank syariah juga bisa terlihat dari Roadmap baru yang disusun OJK. Sebelumnya pengawas industri keuangan itu memiliki rencana pengembangan jangka menengan bank syariah lewat Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019. Setelah berakhir otoritas melanjutkan arah pengembangan perbankan syariah dengan mempertimbangkan berbagai isu strategis, dan menerbitkan Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia periode 2020 – 2025. Arah baru itu disusun membawa visi mewujudkan perbankan syariah yang resilien, berdaya saing tinggi, dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan pembangunan sosial.
Nyimas Rohmah dari OJK menjelaskan, arah pengembangan perbankan syariah ini telah disusun selaras dengan beberapa arah kebijakan, baik kebijakan eksternal yang bersifat nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia 2019-2024, maupun kebijakan internal OJK yaitu Masterplan Sektor Jasa Keuangan Indonesia dan Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I).
Saat ini market share keuangan syariah sudah berada di angka 10,11 persen dari total aset keuangan nasional atau mencapai Rp631.58 triliun. Sementara khusus untuk perbankan syariah asetnya baru mencapai 6,59 persen dibanding perbankan nasional.***





.jpg)










