JAKARTA, Stabilitas.id – Kementerian Perdagangan terus melindungi kepentingan produk Indonesia dari berbagai kebijakan Uni Eropa yang berpotensi menghambat ekspor. Salah satunya adanya kebijakan undang-undang anti-deforestasi yang diterapkan Uni Eropa.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam acara Indonesia Food Agri Insight On Location dengan tema “Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa” yang berlangsung di Jakarta, pada Selasa (1/8/23).
Acara menghadirkan narasumber yang terdiri atas Staf Khusus Bidang Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan, Ketua Asosiasi Petani Kakao (Askindo) Arif Zamroni, Ketua Departemen Specialty & Industri BPP Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo, serta Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono.
“Kementerian Perdagangan akan terus berupaya melindungi kepentingan nasional, termasuk melindungi petani rakyat, di berbagai forum internasional baik bilateral, regional, dan multilateral. Kemendag siap mengambil langkah-langkah terukur untuk mengamankan kepentingan nasional,” ungkap Mendag Zulkifli Hasan.
Mendag Zulkifli Hasan mengungkapkan, Uni Eropa telah memperkenalkan kebijakan perlindungan lingkungan dan mengatasi perubahan iklim dalam kerangka European Green Deal (EGD). Uni Eropa menerbitkan beberapa kebijakan, yaitu pertama, Renewable Energy Directive (RED), yang akan melarang penggunaan biofuel dari minyak sawit pada 2030.
Kedua, Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang akan menjadi dasar pengenaan pajak karbon terhadap produk-produk seperti besi dan baja, semen, pupuk, aluminium, dan listrik. Ketiga, Deforestation-Free Products Regulation atau UU Anti-Deforestasi Uni Eropa.
“UU Anti-Deforestasi Uni Eropa mewajibkan produk yang diekspor atau pun diimpor oleh Uni Eropa harus bebas dari deforestasi atau penggundulan hutan, yaitu sapi ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai, karet, kayu dan produk turunannya,” jelas Mendag Zulkifli Hasan.
Menurut Mendag, kebijakan ini berpotensi diskriminatif, khususnya ketentuan kriteria negara berisiko, penetapan cakupan produk yang tidak mencakup produk utama Uni Eropa, dan penentuan batas waktu barang yang terkena kebijakan.
Ia melihat, kebijakan ini menciptakan hambatan perdagangan yang tidak perlu melalui kewajiban uji tuntas dan sanksi atas pelanggaran.
“Kebijakan ini berpotensi menghambat perdagangan dan merugikan petani kecil. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa 2022, untuk sawit, karet, kakao, kopi, dan kayu sekitar USD 6,7 miliar. Sementara itu, 8 juta petani kecil kelapa sawit, kakao, kopi, dan karet Indonesia juga akan terdampak akibat kebijakan tersebut,” jelas Mendag Zulkifli Hasan.
Mendag Zulkifli Hasan memaparkan, Kementerian Perdagangan telah melakukan berbagai langkah dalam melawan kebijakan ini. Diantaranya dengan menyampaikan keberatannya ke Uni Eropa dan negara anggotanya.
“Kami juga memanfaatkan forum perundingan Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) agar Uni Eropa dapat tetap membuka akses pasar produk Indonesia,” tandasnya.
Mendag menambahkan, Indonesia juga menggalang posisi bersama dengan perwakilan negaranegara lainnya di Brussels, Belgia. Sebelumnya, Indonesia menginisiasi Surat Bersama yang ditandatangani 14 negara perihal keberatan atas kebijakan Uni Eropa.
Saat ini Indonesia sedang menyusun surat kedua bersama 19 negara lainnya dengan target memperoleh dukungan sebanyak-banyak untuk memperkuat posisi Indonesia.
“Selain upaya diplomasi, Indonesia juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan ke WTO guna menilai kesesuaian kebijakan Uni Eropa dengan ketentuan WTO,” imbuh Mendag Zulkifli Hasan.
Mendag Zulkifli Hasan menambahkan, perjuangan di forum internasional, tetap perlu diimbangi upaya di dalam negeri.
“Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan siap mendukung upaya-upaya tersebut. Oleh karena itu, peran dan kontribusi seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, pelaku usaha, dan masyakarat sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi,” tutup Mendag Zulkifli Hasan.***