Perbankan syariah yang asetnya belum kunjung melesat, diharapkan bisa meningkatkan daya saingnya dengan terbitnya aturan baru otoritas. Sebabnya level permainan sudah disamakan.
Oleh Syarif Fadilah
Indonesia adalah rumah bagi 225 juta muslim, atau sekitar 85 persen penduduk, seharusnya menjadi tempat bagi tumbuh pesatnya industri keuangan syariah dan menjadi pemain penting global. Akan tetapi fakta berkata lain.
Sejak batu loncatan pertama industri keuangan syariah hadir pada awal 90-an, hingga melewati milenium baru, Indonesia tidak juga menempati posisi penting dalam industri perbankan syariah dunia. Gonta ganti endorsement dari pemerintah dan regulator juga belum mampul mengungkit posisinya di hadapan perbankan konvensional.
BERITA TERKAIT
Pada 2021, Indonesia menempati posisi ke-4 dalam jajaran negara yang mempraktikkan ekonomi Islam dunia. Sementara dalam kancah keuangan syariah global, Indonesia masih tersendat di posisi ke-6.
Selama 30 tahun melangkah di perekonomian Indonesia, aset perbankan syariah masih juga semenjana: hanya mencapai 6,59 persen dibanding konvensional, hingga Juli 2021. Jika dilihat dari kaca mata industri keuangan maka total asetnya masih berada di bawah 10 persen. Padahal pertumbuhan aset per tahun selalu berhasil melampaui koleganya itu yaitu rata-rata 12 persen dalam lima tahun terakhir dibanding 7 persen milik konvensional.
Otoritas, akan tetapi, tidak patah arang, dorongan kebijakan kembali lagi diluncurkan. Pada awal tahun ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 2020-2025 (RP2SI).
Latar belakang diterbitkan kebijakan itu di antaranya adalah masih ada hambatan akselerasi pertumbuhan bisnis perbankan syariah. Antara lain belum adanya diferensiasi model bisnis yang signifikan, kualitas, dan kuantitas SDM yang kurang optimal serta rendahnya tingkat literasi dan inklusi.
“Sehinga diperlukan transformasi agar jadi perbankan syariah yang berdaya saing tinggi,” kata Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK, Nyimas Rohmah. “RP2SI membawa visi mewujudkan perbankan syariah yang resilien, berdayasaingtinggi dan kontribusi signifikan tidak hanya ekonomi nasional tetapi juga pembangunan sosial.”
Pada 2018 OJK sempat melakukan kajian transformasi perbankan syariah. Berdasarkan hasil survey, FGD dan indept interview dengan ekspert di perbankan syariah pada kajian itu, diperoleh hasil bahwa perbankan syariah masih punya kelemahan seperti model bisnis, indeks literasi dan inklusi, kuantitas dan kualitas SDM dan teknologi yang belum memadai. Sehinga diperlukan transformasi agar jadi perbankan syariah yang berdaya saing tinggi.
Hal tersebut juga mengonfirmasi indeks literasi dan inklusi keuangan syariah yang masih rendah saat survey terakhir dari OJK pada 2019. Indeks literasi keuangan syariah nasional tercatat hanya sebesar 8,93 persen dan indeks inklusi keuangan syariah nasional 9,1 persen.
Sepanjang 2020, beberapa indikator perbankan syariah sejatinya menunjukkan hasil positif dimana aset, DPK dan pembiayaan dari perbankan syariah tumbuh meski ekonomi masih dirundung pandemi.
Pangsa pasar perbankan syariah terhadap perbankan nasional sejatinya masih bisa menunjukkan peningkatan pada 2020, baik dari sisi aset, DPK, maupun pembiayaan. Peningkatan pangsa pasar perbankan syariah dikontribusikan oleh pertumbuhan perbankan syariah, konversi Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah dan penerapan qanun di Provinsi Aceh. Juga ekspektasi positif atas mergernya tiga bank syariah milik negara, yang terealisasi awal tahun 2021.
Namun begitu, tetap saja, bank syariah masih belum bisa mewujudkan ekspektasi masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan muslim. Hingga kini market share perbankan syariah masih berkutat di level 6 persen.
Tidak kurang dari Ketua Komisioner OJK Wimbih Santoso yang mengakui bahwa pengembangan keuangan dan ekonomi syariah di Indonesia masih kalah bersaing dibandingkan layanan konvensional. Mantan central banker itu mengatakan rendahnya market share perbankan syariah itu diakibatkan oleh produk yang ditawarkan masih kalah bersaing dengan perbankan konvensional. Di antaranya, akses produk yabg terbatas, harga produk yang kurang kompetitif, maupun kualitas yang lebih rendah.
“Ya tadi mungkin saja salah satunya karena memang mungkin produk syariah ga ada, yang ada non syariah. Atau mungkin mahal atau mungkin kualitasnya kalah bagus, sehingga (masyarakat) tidak milih produk syariah,” kata Wimboh.
Lebih Kompetitif
Oleh karena itu, OJK mengeluarkan aturan baru, yang memberi kesempatan perbankan syariah memunculkan produk dan layanan keuangan yang lebih bersaing, yaitu POJK No 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.
Salah satu poin utama dari aturan tersebut adalah kemudahan dalam menjalankan atau membentuk bank digital. Bagi bank syariah hal tersebut akan semakin memberatkan beban persaingannya dengan bank konvensional, mengingat bersaing pada taraf model bisnis non digital saja bank syariah masih tertinggal.
Beleid OJK terbaru mengatur secara garis besar landasan kepada perbankan dalam mengakselerasi bank digital dengan mempertegas pengertian bank digital. Disebutkan dalam ketentuan POJK tersebut, bank digital adalah Bank BHI (Berbadan Hukum Indonesia) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain Kantor Pusat atau menggunakan kantor fisik terbatas.
Lebih lanjut, beleid tersebut secara tegas menyebutkan bahwa bank digital tidak perlu memiliki kantor cabang. Sebuah bank digital hanya perlu memiliki satu kantor pusat bank yang menjadi pusat operasional mereka. Hal ini memungkinkan bank digital bisa melakukan efisiensi besar-besaran dalam hal penyediaan kantor cabang. Seperti diketahui, di era digital, aset kantor cabang bisa menjadi beban bagi bank dengan semakin berkembangnya transaksi keuangan digital yang semakin masif.
Sebagai pembeda dengan bank non digital, dalam POJK tersebut ditetapkan enam persyaratan bagi entitas perbankan agar bisa disebut bank digital. Pertama, memiliki model bisnis yang memanfaatkan teknologi informasi yang bersifat inovatif serta aman dalam melayani kebutuhan nasabah. Kedua, mempunyai kemampuan dalam mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan. Ketiga, keberadaan manajemen risiko memadai. Keempat, terpenuhinya aspek tata kelola, semisal pemenuhan direksi yang berkompeten di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain yang sesuai dengan ketentuan OJK. Kelima, mampu menjamin dan menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Keenam berkontribusi terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.
Berdasarkan kajian dari Tim Riset Majalah Stabilitas, bank syariah menghadapi tantangan yang besar terkait permodalan. Rerata bank syariah yang memiliki modal di atas Rp5 triliun. Hingga Desember 2020, terdapat enam bank syariah yang memiliki modal inti di bawah Rp2 triliun dari total 14 bank umum syariah. Sebaliknya, beberapa bank konvensional yang memiliki modal di atas Rp30 triliun.
Salah satu sebab kenapa bank Syariah mengalami kesulitan dalam menambah modalnya adalah mayoritas bank syariah merupakan anak usaha bank konvensional. Terlepas dari bank syariah masih dianggap pesaing oleh bank induknya, bank konvensional selaku pemegang saham tidak akan berkenan memberikan tambahan modal pada bank syariah jika tingkat pengembalian, misalkan Return on Equity (ROE) bank syariah lebih rendah daripada ROE dari bank induknya sendiri. ROE bank syariah rendah dikarenakan bank syariah banyak memiliki pembiayaan bermasalah atau tingginya Non Performing Financing (NPF).
Sementara Fidri Arnaldy, Direktur Utama Bank DKI di kesempatan yang sama menilai, potensi kenaikan syariah menunjukkan tren kenaikan yang baik. Namun dia mengingatkan bahwa sasaran yang selalu dilakukan perbankan syariah, kenyataannya adalah pada marketshare yang masih kecil.
Tetapi alih-alih menggerutu mengenai kondisi yang ada, Fidri melihatnya ini sebagai sebuah peluang. “Ini adalah peluang yang harus kita garap kalau kemampuan IT dan SDM kami perbaiki, produk kami bisa sama dengan konvensional, insya Allah perbankan syariah akan berkembang juga,” imbuh dia.
Senada, Direktur Perbankan Suariah CIMB NIaga, Pandji Djajanegara juga mengatakan bahwa aturan OJK yang baru memberi peluang bank syariah untuk meningkatkan persaingan dengan konvensional. Menurut dia, strategi yang harus dilakukan agar perbankan syariah bisa lari lebih kencang, adalah dari sisi perkembangan produk. Sebab ini adalah kelemahan perbankan syariah karena belum terlalu dikenal masyarakat.
“Jadi dalam beberapa tahun ini yang kita ngebut adalah bagaimana kita memiliki produk yang at least sama dengan yang dimiliki perbankan konvensional dulu. Sehingga dalam 5 tahun ini, kita ngebut apa yang CIMB Niaga punya, syariah juga harus punya. Tentu perlu waktu lama karena ada riset, perijinan, resources dan modal,” kata Pandji.***





.jpg)









