Pada tahapan pengembangan pegawai, perusahaan dapat senantiasa secara rutin memberikan pendidikan singkat terkait awareness keuangan berkelanjutan pada setiap level jabatan.
Oleh Indra Aditya Kusuma, Faculty & Team Leader Research and Development LPPI
Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang telah meratiifikasi Perjanjian Paris menunjukkan komitmen Indonesia dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, Indonesia menyatakan akan siap menurunkan emisi GRK sebesar 41 persen dengan bantuan internasional atau 29 persen dengan business as usual.
Imbas dari kebijakan itu seluruh entitas bisnis di Tanah Air seperti terdorong untuk ikut mewujudkan cita-cita tersebut dan mengejar tenggat waktu yang ditetapkan yaitu pada 2030. Apalagi jika melihat peluang potensi investasi nilai aset global yang berwawasan Lingkungan, Sosial, dan Tata kelola (LST) yang telah meningkat hingga dua kali lipat dalam 4 tahun, dan diperkirakan akan mencapai 40,5 triliun dollar AS pada 2020.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia sebagai bagian dukungan penuh pada komitmen pemerintah sekaligus upaya pengembangan keuangan berkelanjutan. Sebelumnya otoritas juga sudah meluncurkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019) dan dilanjutkan ke Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025). Pada implementasi Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 yang mewajibkan seluruh Sektor Jasa Keuangan (SJK) menerapkan prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan, menyusun dan kemudian menyampaikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) kepada OJK, serta penyampaian Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) kepada publik.
Di dalamnya pada Pasal 7 ayat (1) terdapat tiga prioritas yang dapat dilakukan yakni pertama, pengembangan produk dan/atau jasa Keuangan Berkelanjutan, Kedua, pengembangan kapasitas intern, atau ketiga, penyesuaian organisasi, manajemen risiko, tata kelola, dan/atau SOP yang sesuai dengan prinsip penerapan Keuangan Berkelanjutan. Sementara pada Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II, dengan tagline “The Future of Finance”, OJK mengupayakan percepatan implementasi keuangan berkelanjutan, termasuk di antaranya meningkatkan awareness dan capacity building.
Baik tahap I dan tahap II, otoritas tetap memprioritaskan pengembangan kapasitas intern atau capacity building dalam hal ini pengembangan sumber daya insani internal perusahaan. Pengembangan kapasitas lazim dilakukan dengan memberikan pengetahuan kepada pegawai yang lama maupun para pegawai baru yang akan bergabung dengan perusahaan akan pemahaman keuangan berkelanjutan. Namun apapun yang akan dilakukan, ke depan lembaga keuangan sudah harus mempersiapkan talenta yang memiliki kompetensi “hijau”. Persiapan yang dilakukan tidak hanya sebatas pengetahuan, namun juga dilengkapi keterampilan dan yang terpenting adalah sikap yang mengedepankan profit, people dan planet.
Menyiapkan ‘talenta hijau’, dapat dilakukan secara komprehensif pada setiap tahapan pengelolaan sumber daya manusia. Dimulai dari tahapan awal yaitu saat penerimaan pegawai dimana rekrutmen pegawai harus senantiasa memperhatikan komposisi gender, teknologi yang efisien, dan komitmen serta pandangan akan kepedulian lingkungan.
Kemudian pada tahapan pengembangan pegawai, perusahaan dapat senantiasa secara rutin memberikan pendidikan singkat terkait awareness keuangan berkelanjutan pada setiap level jabatan. Atau menerapkan proses pembelajaran dengan memanfaatkan learning management system (LMS), knowledge management yang dikombinasikan melalui metode hybrid dan microlearning sehingga efisien. Pengembangan spesialisasi terkait fungsi, tugas, dan pekerjaan ke arah green jobs juga dapat mulai dikaji atau bahkan bisa langsung diimplementasikan setelahnya.
Pada penilaian prestasi kerja pegawai, indikator penilaian kinerja pegawai mulai diberikan sasaran unjuk sikap yang berdampak langsung ke lingkungan seperti perilaku penggunaan daur ulang ataupun kesadaran akan efisien energi.
Kenapa Harus?
Berdasarkan survey yang dilakukan Pew Research Center terhadap warga AS pada 2021 menyatakan bahwa Gen Z (67 persen) dan Milenial (71 persen) lebih melihat isu perubahan iklim sebagai prioritas utama yang harus diperhatikan pemerintah. Angka itu lebih tinggi dibandingkan para generasi sebelumnya yakni Gen X (63 persen) dan Baby Boomers (57 persen).
Fakta itu sejalan dengan hasil survei di Indonesia pada tahun yang sama oleh lembaga Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah. Hasil survei kedua lembaga itu terhadap kekhawatiran Milenial dan Gen Z pada isu-isu strategis didapat kesimpulan bahwa Isu Kerusakan Lingkungan Hidup berada pada peringkat kedua teratas (52 persen) dan hanya terlampui oleh permasalahan korupsi (64 persen).
Akhirnya, mungkin kita tidak perlu terkejut apabila talenta-talenta terbaik (yang kebanyakan Gen Z dan Milenial) di perusahaan kita sudah mulai bertanya dan mengamati seberapa besar komitmen perusahaan kita terhadap lingkungan hidup. Jika tidak kita persiapkan dengan baik, maka niscaya tidak hanya disrupsi digital yang dihadapi perusahaan, namun juga disrupsi talenta. Tentu kita tidak ingin menghadapi masalah demikian, bukan?***





.jpg)










