Menyongsong tahun 2015, likuiditas kelihatannya menjadi isu penting bagi lembaga keuangan terutama perbankan. Otoritas moneter bahkan secara eksplisit mengingatkan bank-bank akan hal ini. Betapa tidak, dari dalam negeri, rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) sudah menembus 90 persen dan suku bunga pasar uang menanjak. Secara fiskal, belanja APBN biasanya masih seret terutama di semester pertama.
Dari luar, suku bunga acuan di Amerika Serikat (Fed Rate) bakal naik. Likuiditas di pasar global berpotensi menyusut, terserap ke dalam neraca the Fed atau pemerintah AS. Isunya, yang akan keluar itu juga termasuk dana-dana asing yang saat ini ada di pasar keuangan Indonesia, terutama di surat berharga negara (SBN) yang belakangan jumlahnya kian meningkat.
Likuiditas memang amat penting bagi perbankan. Jika aset bermasalah akan membusukkan bank dalam waktu lama, masalah likuiditas akan membunuh bank seketika. Krisis membuktikan, kegagalan bank kerap dipicu oleh masalah likuiditas. Contoh yang belum berselang lama terjadi adalah Bank Northern Rock di Inggris. Sebagian besar asetnya sehat tetapi kolap dalam ‘sekejap’ lantaran kesulitan dana jangka pendek.
BERITA TERKAIT
Bank Internasional Indonesia (BII) di masa krisis silam juga sempat terancam gagal karena kesulitan likuiditas akibat rush nasabah. Beberapa orang juga menilai hal yang sama terjadi pada Bank Century di kala krisis global 2008 yang lalu. Awalnya dipicu kalah kliring selama beberapa hari, baru kemudian diketahui beberapa asetnya (kredit dan obligasi) bodong.
Dua alat ukur likuiditas a la aturan Basel III pun perlahan mulai diterapkan bagi perbankan Indonesia. Basel Accord III merupakan kerangka ketentuan internasional bagi perbankan yang disusun oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), salah satu komite dalam Bank for International Settlement (BIS). Selain aspek permodalan atau capital (terutama konsep countercyclical capital buffer), konsep penting yang dirumuskan dalam Basel III sejak 2009 adalah parameter tingkat likuiditas bank. Pertama,liquidity coverage ratio (LCR) yang menghitung ketersediaan aset paling likuid milik bank yang bisa dipakai menutup potensi arus kas keluar bersih yang bisa terjadi dalam skenario tekanan jangka pendek yang akut. Definisi skenario tekanan jangka pendek akut itu nanti akan ditentukan oleh otoritas perbankan. Rumus LCR:
Kedua, net stable funding ratio (NSFR) yang membandingkan jumlah sumber pendanaan stabil dan berjangka panjang yang dipakai oleh bank, dengan profil likuiditas dari aset-aset yang didanai serta potensi penarikan dana yang mungkin terjadi dari komitmen dan kewajiban kontinjensi dalam hal ini termasuk dari rekening-rekening off-balancesheet.
Dengan kalimat yang lebih jelas, LCR harus sama atau lebih besar dari 100 persen mencerminkan bahwa alat likuid di tangan bank minimal harus sama jumlahnya dengan arus kas keluar bersih (sudah dikurangi arus kas masuk) rata-rata sebulan. Bank tetap harus memegang aktiva likuid yang cukup kendati, misalnya, pertumbuhan kredit sedang tinggi-tingginya.
Sebelum kedua rasio itu diberlakukan, Bank Indonesia selama ini sudah menerapkan beberapa rasio likuiditas seperti rasio aset likuid (primer + sekunder) terhadap total aset dan terhadap pendanaan jangka pendek. Rasio aset likuid terhadap total aset tahun ini stabil di kisaran 14-16 persen.
Rentan dari awal
Aturan likuiditas dalam Basel III memang lahir dari pengalaman krisis keuangan global 2008 yang banyak diwarnai oleh masalah likuiditas lembaga-lembaga keuangan. Tetapi, sesungguhnya bukanlah baru enam tahun yang lalu likuiditas menjadi risiko. Konsep perbankan modern pada dasarnya memang rentan terhadap masalah likuiditas sejak awal kemunculannya.
Bayangkan saja, dengan sumber dana utama berupa simpanan jangka pendek (3-12 bulan), bank menyalurkannya sebagian besar ke dalam kredit berjangka 1-20 tahun. Hanya sebagian kecil dari yang dipertahankan (baca: dicadangkan) dalam bentuk kas berbentuk cash in vault dan giro di bank sentral: Giro Wajib Minimum (GWM). Ini yang dalam literatur ekonomi disebut sebagai fractional reserve banking system. Dalam sistem perbankan dengan fractional reserve (pencadangan sebagian) tersebut, bank tidak harus menyisihkan kas (alat likuid) untuk seluruh dana simpanan yang diperolehya. Cukup sebagian kecil saja. Sisanya bisa disalurkan menjadi kredit,terserahkan pada strategi bisnis bank.
Ambil contoh gampang yang dikutip ulang dari artikel saya tiga tahun lalu (“Basel III dan Fractional Reserve Banking,” Stabilitas November 2011). Bank A hanya memiliki dua deposan, X dan Y, dengan simpanan masing-masing Rp5.000. Dampaknya dalam neraca Bank A tampak seperti gambar neraca (1) pada ilustrasi di bawah.
Asumsikan, ketentuan reserve/pencadangan wajib dari otoritas (statutory reserve requirement/GWM) hanya 5 persen dari dana pihak ketiga (DPK)-nya. Selama kondisi normal, sangat kecil kemungkinan kedua deposannya itu menarik sejumlah besar uangnya itu secara bersama-sama alias rush. Sehingga, 95 persen, DPK tadi disalurkan ke kredit.
Asumsikan juga bahwa Debitur Z sebagai nasabah penerima kredit dari Bank A harus membuka rekening dan menyimpan dana pinjamannya tadi juga di Bank A [neraca (2)]. Aset Bank Ameningkat dari Rp10.000 (Rp5.000+Rp5.000) menjadi Rp1.000. Hal ini terus berlanjut bila bank kembali menyalurkan sebagian dana simpanannya menjadi kredit untuk debitur lain.
Mekanisme semacam tadi akan semakin rumit bila diterapkan dalam sistem perbankan yang kompleks. Ambil contoh pinjaman Bank A kepada nasabah Z tadi disimpan di Bank B [neraca (2)]. Maka, kredit Bank A akan menjadi DPK bagi Bank B. Demikian selanjutnya terhadap bank-bank lain.
Ringkasnya, dengan menerima Rp1.000 dalam pendanaan, dengan reservesebesar 5 persen, sistem perbankan di suatu negara dapat menyalurkan kredit sebesar Rp20.000 atau 20 kali lipatnya. Mengingat DPK (tabungan, deposito dan, terutama, giro) di bank dapat dipakai sebagai ‘alat pembayaran’, maka dana-dana itu sesungguhnya juga merupakan ‘uang’. Keynes dalam bukunya Treatise of Money menyebutnya sebagai bank money. Dalam ilmu ekonomi-moneter modern,mekanisme tadi kita kenal sebagai penciptaan uang oleh sistem perbankan. Giral adalah bagian dari uang dalam arti sempit (narrow money/M1) sedangkan tabungan dan deposito termasuk uang dalam arti luas (broad money/M2).
Jadi, dengan menyisakan alat likuid hanya sebagian kecil dari DPK yang dihimpun, perbankan di satu sisi sesungguhnya akan selalu menanggung risiko likuiditas. Di sisi lain, penciptaan uang giral (bank money) bermanfaat bagi berputarnya roda perekonomian.
Lebih aman
Memang kita bisa mengelola risiko, termasuk risiko likuiditas, tersebut. Namun, sebenarnya teori moneter klasik menyodorkan konsep yang lebih aman, kuat dan stabil yakni sistem perbankan denan pencadangan penuh 100 persen. Dalam sistem ini, bank wajib menyediakan alat likuid sejumlah yang sama dengan DPK yang dimiliki. Alat likuid tadi dalam berupa instrumen pasar uang dan pasar modal (saham, obligasi, dan lain-lain). Mirip konsep manajer investasi. Kapanpun dan berapapun dana nasabah ditarik, bank selalu mampu dengan cepat mengembalikannya.
Bagaimana jika bank ingin menyalurkan kredit? Bank harus mendanainya dari penerbitan saham atau surat utang (terutama subdebt) dengan jumlah dan tenor yang sesuai nilai dan jangka waktu kredit. Tidak ada penciptaan bank money. (Hampir) tidak ada risiko likuiditas.