OJK ingin nantinya, perbankan syariah memiliki keunikan model bisnis atau produk, mengoptimalkan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah, dan mengintegrasikan fungsi keuangan komersial dan sosial
DI Indonesia, industri keuangan syariah, seperti menjalani takdirnya sendiri. Terlepas dari berbagai dorongan dan dukungan, industri ini terutama yang diwakili perbankan syariah tidak juga bisa bersanding setara dengan yang konvensional. Selama 30 tahun kiprahnya di Tanah Air, industri keuangan syariah memang terbilang masih mengecewakan.
Melimpahnya pasar yang diwakili oleh lebih dari 225 juta muslim di Indonesia tidak juga mampu membuatnya berkembang memenuhi ekspektasi berbagai pihak. Hingga pertengahan tahun ini, market share perbankan syariah dari sisi aset hanya mampu bertengger di level 6,59 persen. Jika dilihat dari industri keuangan secara keseluruhan angkanya sedikit lebih tinggi yaitu mencapai 10 persen. Sampai Juli 2021, aset perbankan syariah berada di kisaran Rp631 triliun. Sementara aset keuangan syariah mencapai Rp1.922 triliun, tanpa memperhitungkan saham syariah.
Sejak dua dekade lalu, regulator menginginkan size perbankan syariah yang lebih kompetitif di hadapan konvensional. Terbitnya Undang-Undang No. 21 Tentang Perbankan Syariah pada 2008 tidak terlepas dari keinginan itu.
BERITA TERKAIT
Dalam undang-undang itu, singkatnya disebutkan, bahwa paling lambat pada 2023 semua bank yang masih memiliki unit usaha syariah diharuskan melepaskan unitnya untuk menjadi bank umum syariah tersendiri. Pilihan lainnya adalah bank induknya sendiri yang kemudian mengonversi seluruh layanannya menjadi syariah.
Memang sudah ada beberapa bank yang memutuskan untuk mengikuti aturan itu, namun demikian sebagian besar masih hitung-hitung. Pandemi yang terjadi setahun lalu makin membuat bank yang memiliki UUS ragu untuk melakukan spin off. Ditambah lagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti akan putar haluan. Terbesit kabar bahwa aturan spin off tidak akan lagi diwajibkan namun hanya akan menjadi opsi buat bank. Tidak tanggung-tanggung otoritas mengaku sudah mengajukan agar usulan itu masuk pada rancangan undang-undang mengenai perbankan yang akan segera terbit.
Inilah yang membuat pengelola bank terperangkap dalam dilema. Satu sisi mereka lebih menginginkan menghemat dana mereka untuk memperkuat modal, dibandingkan harus mengeluarkan dana lebih untuk melakukan pemisahan usaha syariah. Namun di sisi lain, jika aturan voluntary untuk spin off tidak kunjung terbit sampai batas waktu 2023 maka bank akan menghadapi risiko reputasi dan risiko kepatuhan.
Peta Jalan Baru
Sementara itu, tahun ini, OJK kembali mencoba peruntungannya demi mendongkrak performa keuangan syariah. Melalui Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 2020-2025, OJK bahkan mendesak agar perbankan syariah tidak hanya mampu meningkatkan indikator keuangannya, namun juga memiliki apa yang dinamakan socio-economic impact.
Menurut dokumen OJK, peta jalan tersebut disusun sebagai katalisator akselerasi proses pengembangan perbankan syariah di Indonesia dengan membawa 3 (tiga) arah pengembangan. Terdiri dari penguatan identitas perbankan syariah; sinergi ekosistem ekonomi syariah; serta penguatan perizinan, pengaturan, dan pengawasan. Sebagai bagian dari Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia, roadmap ini merupakan langkah strategis OJK dalam menyelaraskan arah pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, khususnya pada sektor industri jasa keuangan syariah di bidang perbankan syariah.
OJK ingin nantinya, perbankan syariah memiliki keunikan model bisnis atau produk, mengoptimalkan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah, dan mengintegrasikan fungsi keuangan komersial dan sosial. Perbankan syariah juga harus memiliki SDM yang berkualitas dan juga system teknologi dan informasi yang mutakhir.
Harus diakui, hingga saat ini, ketika semua praktik bisnis mulai terdisrupsi digital, perbankan syriah dinilai masih belum memiliki diferensiasi model bisnis atau produk yang signifikan. Selain itu indeks literasi dan inklusi perbankan dan keuangan syariah juga masih rendah. Sementara itu tantangan laten kuantitas dan kualitas SDM yang kurang optimal masih menghantui. Dan tantangan yang paling krusial saat ini adalah sistem TI yang belum memadai.
Selain itu, di tahun 2021 ini OJK juga melansir POJK No 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Aturan itu menyemangati bank untuk masuk ke dalam arena yang sama dengan bank konvensional. OJK memang membuka peluang bagi bank syariah untuk bermain dalam lapangan permainan yang sama dengan konvensional.
Pada gilirannya nanti bank syariah bisa meningkatkan daya saingnya dengan campur tangan otoritas yang berupaya meningkatkan skala ekonomi industri keuangan syariah. Salah satunya melalui peningkatan nominal-nominal modal minimum maupun akselerasi konsolidasi.
Publik tentu menaruh kembali harapan mereka di pundak bank syariah setelah adanya dorongan dan dukungan kebijakan ini. Mimpi untuk menjadikan bank syariah setara dengan konvensional di negeri ini mungkin akan terwujud secepatnya. Yang pada gilirannya akan mendongrak daya saing Indonesia di kancah industri keuangan global.
Kendati begitu, kekhawatiran tentu masih tersimpan karena melihat kenyataan sepanjang tiga dekade ini bank syariah masih berkutat di bawah bayang-bayang bank konvensional meski sudah banyak diguyur kebijakan. Jika memang begitu, tentu kita tidak bisa menyalahkan takdir.***





.jpg)










