Oleh : Aulianita Nurwidya, Reserch and Produk Development Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)
Di era serba digital saat ini, hampir semua orang menggunakan sosial media. Anak-anak hingga orang dewasa tak luput memanfaatkannya sebagai ruang ekspresi diri. Namun tidak jarang tindakan itu menadi pisau bermata dua
Belakangan ini ramai beredar di sosial media tentang influencer atau orang yang memiliki banyak followers kerap membagikan konten-konten yang memamerkan kekayaan mereka. Berada di sebuah jet pribadi, dikelilingi gepokan uang, menunjukkan saldo ATM, mengenakan outfit dengan harga selangit dan lain sebagainya
Perilaku menampilkan kehidupan mewah demi mendapatkan penilaian dari masyarakat dikenal dengan istilah “flexing”. Secara harfiah, flexing didefinisikan sebagai perilaku menyombongkan diri dengan memamerkan sesuatu yang berhubungan dengan kekayaan atau kemewahan. Mengutip definisi dari National Youth Council of Singapore, flexing adalah budaya ingin dilihat atau diperhatikan orang lain dengan barang-barang mahal yang menunjukkan bahwa kita mampu untuk membelinya. Sedangkan Cambridge Dictionary menyebutkan bahwa flexing merupakan perilaku yang menunjukkan bahwa kita bangga atau senang dengan apa yang kita miliki dan kita lakukan.
BERITA TERKAIT
Fenomena flexing itu dinilai menjadi masalah. Paling tidak ada dua alasan. Pertama adalah semakin memperlihatkan financial gap yang terjadi dimasyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebenarnya kekayaan itu hanya dimiliki oleh segelintir orang. Ada sebagian masyarakat kita yang masih tidak tahu hari ini mau makan apa, bahkan masih banyak orang yang bingung hari ini bisa makan atau tidak.
Alasan yang kedua adalah gaya hidup yang materialistis, manipulatif dan serba instan yang dijadikan sebagai tontonan. Semakin sering kita melihat sesuatu, maka alam bawah sadar kita juga akan membenarkan itu sebagai sesuatu yang biasa dan pada akhirnya bisa menjadi lifestyle atau gaya hidup kita. Gaya hidup yang di ukur dari materi, secara tidak langsung akan menjadi tontonan dan dapat membentuk karakter seseorang. Menurut American Psychological Association, semakin materialistis seseorang maka akan semakin sulit merasakan emosi positif, sulit untuk berempati, mudah stress dan depresi hingga dapat menyebabkan penurunan kondisi fisik jika tidak mendapatkan life balance yang baik dari lingkungan sekitar.
Memang tidak ada yang salah dari memamerkan kekayaan, namun sisi materialistis yang dipertontonkan apalagi jika manipulatif, akan membuat generasi kita atau generasi penerus kita terbiasa untuk melakukan hal yang sama. Bukan tidak mungkin jika mereka terinspirasi dan menjadikannya target serta tujuan hidupnya. Terlebih saat pandemi, banyak orang yang mengalami kesulitan ekonomi, akhirnya ingin meniru jalan sukses para crazy rich yang cenderung instan tanpa mau melihat prosesnya. Padahal yang mahal dari sebuah pencapaian justru prosesnya. Yang mahal dari seorang pendaki adalah cerita pada saat mendaki, apa saja yang mereka lihat, apa saja yang mereka lakukan dan apa tantangan yang harus mereka hadapi saat mendaki. Namun, dengan adanya fenomena flexing ini, generasi muda cenderung semakin mendapatkan pembenaran untuk memperoleh semuanya dengan cara yang instan.
Lalu, bagaimana supaya kita tidak terjebak dengan fenomena flexing? Pertama, adalah berfikir kritis. Dasar dari berfikir kritis adalah skepticism, yaitu sikap mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena semua bersifat tidak pasti. Saat kita menerima informasi, maka sebaiknya kita analisa terlebih dulu sebelum merespons dan mengikutinya. Pertanyakan dulu sumbernya dari mana, dapat dipertanggungkawabkan atau tidak. Dengan kita mencoba untuk berpikir kritis, paling tidak apapun keputusan yang kita ambil berdasarkan logika, bukan berdasarkan emosi semata.
Kedua, kerjakan apa yang kita ketahui, bukan sekedar ikut-ikutan. Apalagi terkait finansial, kita perlu mempelajarinya lebih dulu dan harus terus meng-upgrade pengetahuan tentang finansial supaya tidak terjebak flexing-flexing yang semakin marak terjadi belakangan ini.
Ketiga, stop mencari validasi dari orang lain. Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sidiq Hari Madya menyatakan bahwa salah satu penyebab orang mengikuti flex culture adalah ingin memenuhi imajinasi audiens baik di sosial media maupun di dunia nyata. Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa flex culture adalah hasil dari pencarian kita yang terlalu tinggi terhadap validasi dari orang lain terhadap kita. Kita hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan membuat semua orang senang. Terakhir, hal yang harus kita lakukan tentu saja adalah mem-filter sosial media kita. Kita harus mampu mengendalikan diri dalam menggunakan sosial media yang kita miliki.
Dengan demikian, sebagai generasi muda sudah seharusnya kita tidak terjebak dengan fenomena flexing. Pada hakikatnya generasi mudalah yang akan menjadi penggerak roda kehidupan bangsa. Tidak sepantasnya generasi yang justru menjadi tonggak harapan bangsa terbuai hasrat validasi hedonisme. Menjadi kaya memang tidak salah, namun menunjukkan kepada orang lain secara berlebihan, apalagi sampai memanipulasi keadaan adalah kondisi yang perlu kita cermati dan kritisi. Fokuslah untuk bertumbuh dan menyebarkan energi yang positif untuk lingkungan sekitar.***