Seorang bankir di sebuah bank pemerintah di Bogor tiba-tiba saja berubah gaya hidupnya. Setelah diangkat menjadi kepala cabang, dia tidak mau lagi makan di warung kaki lima atau di pinggir jalan. Tak cuma itu, dia juga melarang anak-anaknya untuk jajan di emperan jalan. Kini dia dan keluarganya selalu berbelanja dan menikmati kuliner di mal-mal atau pusat perbelanjaan, alih-alih di tempat-tempat yang sebelumnya mereka sering kunjungi.
Yang terjadi pada kepala cabang baru sebuah bank itu tidak selalu terjadi pula pada bankir lain yang mendapatkan promosi serupa. Tapi tak bisa dipungkiri, jabatan tinggi dan gaji besar akan membuat gaya hidup seseorang berubah. Terutama bankir. Industri perbankan yang diatur sedemikian ketat kerapkali menimbulkan tekanan pada setiap pegawainya. Sehingga merupakan hal yang lumrah jika pemilik bank selalu menyiapkan bonus yang tak sedikit bagi para pegawai –terutama eksekutif bank, yang dinilai berhasil mencapai target.
Namun beberapa tahun belakangan, praktik pemberian bonus yang besar kepada para bankir mulai dipermasalahkan. Negara-negara yang tertimpa krisis, seperti di kawasan Eropa dan tentunya AS, mulai menerapkan aturan yang ketat dalam pemberian gaji dan bonus kepada eksekutif bank. Bonus yang tinggi tersebut disebut-sebut menjadi pemicu para bankir berani mengambil keputusan yang terkadang mengabaikan risiko ke depannya.
Menurut laporan Financial Stability Board (FSB), salah satu badan di bawah keuntungan jangka pendek yang sama namun mengambil sejumlah risiko yang berbeda atas nama perusahaan, mereka tidak harus diperlakukan sama oleh sistem kompensasi. “Secara umum, baik ukuran kuantitatif maupun penilaian manusia, keduanya harus berperan dalam menentukan penyesuaian risiko. Risiko harus dihitung untuk semua jenis, termasuk risiko likuiditas, risiko reputasi dan biaya modal,” sebut dokumen FSB.
Singkatnya, pemberian gaji ataupun bonus kepada bankir harus dikaitkan dengan risiko-risiko yang bakal dihadapi perusahaan sehubungan dengan keputusan-keputusannya saat menjabat. Sehingga bankir tidak lagi hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa mengindahkan risiko-risiko yang muncul di kemudian hari.
Kondisi di Indonesia
Apa yang telah terjadi di belahan dunia barat itu tentu menjadi perhatian dari otoritas moneter Indonesia. Meski belum memberikan ‘ledakan’ seperti di sana, Indonesia sejatinya juga sudah mengalami kasus-kasus yang dipicu oleh tingginya bonus dan gaya hidup bankir yang serba ‘wah’.
Simak saja kejahatan kerah putih yang terjadi pada perbankan di Indonesia. Hampir semua pelaku kejahatan adalah pegawai-pegawai bank yang posisinya tidak bisa dibilang rendah di kantornya masing-masing. Salah satu fraud yang paling mengegerkan jagat perbankan nasional pada kasus layanan private banking Citibank tahun lalu.
Waktu itu, salah satu Senior Relationship Manager (RM) private banking Citibank bernama Malinda Dee membobol dana nasabah prioritas senilai Rp16,6 miliar. Modus kejahatan perempuan yang dipanggil Inong adalah menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah.
Kasus kejahatan bank rata-rata memang dilakoni oleh pejabat yang memegang peranan penting dalam pengelolaan dana pihak ketiga atau nasabah. Katakanlah seorang kepala cabang, atau level senior manajer.
Padahal untuk level-level tersebut, pendapatan yang diterima setiap bulan berada di kisaran Rp 10 juta hingga Rp60 juta. Angka itu pun masih merupakan gaji, belum termasuk bonus akhir tahun yang bisa diterima hingga 5 kali gaji, tergantung hasil penilaian kinerja.
Menurut seorang mantan karyawan di bank swasta, Gregor, besarnya gaji yang diterima karyawan di semua bank lazimnya ditetapkan berdasarkan grup yang dikelola. Biasanya, grup bisnis mendapat gaji lebih tinggi dibanding divisi lainnya. “Untuk manajer di grup bisnis biasanya digaji mulai dari Rp15 juta ke atas, setiap bulannya. Sementara untuk group head bisa mencapai Rp 70 juta, apalagi sudah senior. Sementara kepala cabang dimulai dari Rp 25 juta per bulan,” tukas dia kepada Stabiltas Perbankan.
Angka yang disebutkan Gregor itu masih sebatas fix cost. Jika ditambah dengan bonus akhir tahun maka total take home pay seorang professional di bank bisa mencapai 7 kali lipat dari gaji pokoknya. Disebutkan, pemberian bonus biasanya berdasarkan penilaian kinerja di akhir tahun. Jika mendapat nilai tertinggi, A misalnya, maka akan mendapat bonus 5 kali gaji. “Tinggal dirunut saja ke nilai B dan seterusnya, perolehan bonus semakin kecil,” ujar Gregor.
Jika dipikir-pikir, gaji dan bonus bagi seorang profesional di perbankan semestinya sudah lebih dari cukup. Lantas, mengapa praktik fraud masih saja terjadi dengan nilai yang fantastis. Satu hal yang ditenggarai sebagai biang kecurangan adalah gaya hidup yang supermewah dari si bankir.
Malinda Dee, setelah diselidiki dan ditangkap polisi kedapatan memiliki sejumlah mobil mewah, dan tinggal di sebuah apartemen mewah. Sebagaimana diungkapkan seorang sumber yang dekat dengan Malinda, gaji yang diterimanya pegawai senior Citibank itu setiap bulan sebesar Rp70 juta per bulan. Sementara per tiga bulan Malinda menerima bonus Rp250 juta.
Menanggapi tingginya gaji bankir yang ditengarai memicu gaya hidup mewah dan tindakan fraud, Kepala Ekonom Bank BNI, Ryan Kiryanto berpendapat, praktik remunerasi sudah seharusnya dipagari dengan rambu-rambu good corporate governance (GCG), etika bisnis, dan penguatan moralitas. Sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana publik, satu hal yang tidak boleh hilang dari pegawai bank adalah integritas. “Makanya ada istilah fit and proper test. Fit kita bicara kompetensi dan skill, sementara proper, kita bicara moral dan integritas, serta attitude,” kata Ryan.
Sementara upaya untuk mengantisipasi risiko moral hazard, menurut Ryan, setiap bank harus membuat internal policy. Ini menyangkut dua hal, pertama, membuat buku pedoman perusahaan yang mengikat seluruh insan industri perbankan. Kedua, menegakkan aturan yang sifatnya tidak tertulis, yaitu etika bisnis.