Momentum pesta demokrasi lima tahunan biasanya sangat ditunggu oleh pelaku-pelaku sektor riil karena banyaknya dana yang beredar dan meningkatnya konsumsi di masyarakat. Peluang itulah yang biasanya ditunggu dan diingat oleh pelaku usaha. Akan tetapi kali ini kondisinya sedikit berbeda. Pemilihan umum untuk menentukan presiden kali ini sangat berbeda situasinya dan hal itu membuat kekhawatiran pengusaha-pengusaha cenderung meningkat.
Berdasarkan riset terbaru Grant Thornton International Business Report (IBR) pada triwulan kedua, optimisme pengusaha pada keadaan ekonomi dan lingkungan bisnis Indonesia mengalami penurunan signifikan dari 78 persen menjadi 48 persen. Optimisme para pelaku bisnis di Indonesia masih berada di atas rata-rata optimisme bisnis global sebesar 46 persen.
Para pemimpin bisnis di Indonesia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dan ketidakpastian ekonomi sebagai dua faktor penentu bagi pertumbuhan bisnis. “Ketidakpastian membuat beberapa investor khawatir. Sebagian besar perusahaan yang ada, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta, mengambil sikap wait and see,” kata Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia.
Investor cenderung bersikap bijak dengan berhati-hati, seperti menunda investasi, menunda pelepasan saham; hingga mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kondisi politik pada saat menjelang dan setelah pemilihan presiden. Ya, risiko politik memang mulai dirasakan lebih nyata oleh pelaku usaha sektor riil setelah beberapa penyelenggaraan pemilu. Bahkan investor-invetor global sudah terlebih dahulu mengkhawatirkan kondisi itu dan mulai mengurangi penempatan dananya di negara-negara yang dinilai berisiko. Berdasarkan survei Aon yang diselenggarakan pada awal 2014, Indonesia termasuk dalam The Fragile Five, lima negara emerging market yang risiko politiknya meningkat bersama India, Afrika Selatan, Turki dan Brasil. “2014 akan menjadi tahun dimana negara-negara berkembang semakin berisiko.
Penyelenggaraan pemilu dapat mengurangi aliran modal ke negara-negara tersebut dalam jangka waktu tertentu,” tulis sebuah laporan dari analis M&G Investments mengomentari survei tersebut. Indonesia memang sudah mulai merasakan dampak dari hajatan politik lima tahunan itu berupa menurunnya investasi asing.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) awal triwulan kedua tahun ini, investasi asing turun sebesar 500 juta dollar AS menjadi 6,9 miliar dollar AS dibanding triwulan sebelumnya. Padahal sejak tahun 2010, penanaman modal asing memperlihatkan tren kenaikan setiap triwulannya. PMA mengalami puncaknya pada triwulan empat tahun 2013 yang mencapai 7,4 miliar dollar AS.
Pemerintah mengatakan bahwa kondisi itu hanya akan berlangsung sebentar. Mahendra Siregar, Kepala BKPM mengatakan, bahwa hajatan politik akan berlangsung aman sehingga investasi bisa kembali lancar. “Ekspektasi bisa dijaga berupa stabilitas ekonomi dan politik, sehingga proses investasi sesuai rencana,” kata dia. Meski begitu, kalangan analis menilai bahwa tren penurunan investasi ini kemungkinan akan berlanjut pada tahun politik sekarang ini. “Hal itu disebabkan, investor asing akan cenderung wait and see melihat arah kebijakan pemerintah berikutnya,” kata ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Samual.
Menurut dia sejak peringkat Indonesia naik menjadi BB- (double minus) investasi langsung asing meningkat signifikan dan meningkat cukup tajam. Ditambah lagi adanya larangan ekspor mineral mentah, semakin memicu meningkatnya investasi asing. Akan tetapi, belakangan pertumbuhan investasi cenderung melambat dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang menurun. Akan tetapi sebaliknya, saat asing cenderung wait and see, investor lokal justru cenderung bergeliat di tahun politik ini. “Hal ini didorong oleh peluang investasi domestik cukup baik terutama di sektor ritel, dan konsumsi kebutuhan pemilu,” kata David.
Terkait soal investasi asing di Indonesia, laporan Foreign Direct Investment (FDI) tahunan World Investment Report UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) yang dirilis pada 24 Juni 2014 lalu menyebutkan, posisi Indonesia sebagai negara tujuan investasi langsung asing periode 2013 berbalik turun ke peringkat 18 dari sebelumnya di peringkat 15.
Pada periode 2013 Indonesia meraup investasi asing senilai 18 miliar dollar AS, turun 5 persen dari capaian sebelumnya 19 miliar dollar AS. Hasil survei yang menurunkan peringkat Indonesia ini sejalan dengan survei yang lebih dulu terbit, yakni AT Kearney FDI Confidence Index. Dalam survei yang dirilis dua pekan sebelum laporan UNCTAD ini, posisi Indonesia juga turun dari sebelumnya peringkat 25 menjadi peringkat 24. Djisman S. Simanjuntak, ekonom senior Center of Strategic and International Studies (CSIS) berpendapat penurunan itu antara lain disebabkan oleh diberlakukannya sejumlah regulasi yang membatasi atau tidak mendorong aliran FDI. Djisman mencontohkan soal penetapan negative investment list oleh pemerintah dan ketetapan pajak tax holiday yang berlarut-larut, menjadi perhatian investor asing tatkala mau menanamkan dana di sini.
Samsung misalnya. Raksasa elektronik asal Korea Selatan ini, sejak tahun lalu gencar diberitakan mencari lokasi barunya di Asia Tenggara. Dua kandidat negara yang masuk adalah Indonesia dan Vietnam. Belakangan Samsung memilih Vietnam karena negara tersebut menawarkan tax holiday selama 30 tahun. Catatan dari Djisman tersebut juga diungkapkan AT Kearney saat melaporkan peringkat FDI Confidence Index. Selain beberapa faktor seperti buruknya pengelolaan atas perubahan iklim, penetapan beberapa restriksi juga membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Infrastruktur dan Anggaran Pemerintah nampaknya memiliki pekerjaan rumah besar, yakni menjaga iklim investasi dan stabilitas pada tahun politik ini, agar tekanan pada ekonomi nasional, terutama pada rupiah dan menipisnya cadangan devisa, bisa diatasi. Sejumlah pertanyaan yang mengemuka adalah kemampuan pemerintah mempertahankan kinerja ekonomi di saat dinamika politik tinggi. Lalu keberlanjutan program-program pembangunan yang tengah berjalan, terutama pembangunan infrastruktur dan sektor riil. Kemudian, jaminan untuk mempertahankan stabilitas kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil pada transisi kepemimpinan. Ekonom Universitas Gadjah Mada, Denni P Purbasari mengatakan, statistik investasi Indonesia memperlihatkan bahwa repatriasi modal asing masih besar, sehingga dari penjualan ekspor kurang optimal.
Menurutnya, data stastistik menunjukkan perusahaan yang melakukan ekspor adalah perusahaan yang melakukan impor dan perusahaan asing (PMA) lebih cenderung mengekspor ketimbang perusahaan non-PMA. Terkait dengan risiko politik, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah mengatakan, pertanyaan utama yang muncul adalah bagaimana ekonomi Indonesia berjalan di tengah konstestasi politik, sementara tantangan dari perekonomia global juga masih akan terus terjadi. “Tahun 2014 merupakan tahun krusial bagi Indonesia dan mengingatkan kita pada bagaimana ekonomi Indonesia di tahun politik, yaitu 1999, 2004, dan 2009,” kata dia. M
eski secara detail ketiga periode tersebut memiliki karateristik unik bila dibandingkan dengan 2014, terdapat sejumlah tren dan arah kesamaan kondisi, diantaranya pembangunan ekonomi dijalankan di tengah persaingan politik. Bahkan, bila dibandingkan dengan 2009, situasi 2014 memiliki kemiripan, yaitu satu tahun sebelumnya ekonomi nasional menghadapi tantangan yang bersumber dari lingkup eksternal. “Bila ada 2009 kita fokus untuk memitigasi dampak krisis subprime mortgage, pada 2014 ekonomi kita juga masih harus memitigasi risiko gejolak pasar keuangan dunia akibat pengurangan stimulus moneter bank sentral Amerika Serikat,” ungkap Guru Besar FEUI ini. Untuk memitigasi potensi risiko dan ketidakpastian ekonomi dunia, Firmanzah menyarankan pemerintah terus meningkatkan beberapa hal.
Pertama, terus mendorong penguatan daya beli masyarakat (keep buying policy) melalui sejumlah program baik dari sisi pasokan (melalui ketersediaan dan pasokan barang/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/tidak langsung kepada masyarakat).
Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas dan daya saing logistik nasional. Saat ini, realisasi investasi pembangunan infrastruktur melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp203 triliun atau naik 16,4 persen dari tahun 2012 sebesar Rp174,9 triliun. Sedangkan dalam APBN 2014 alokasi belanja infrastruktur ditargetkan sebesar Rp208 triliun. Sementara realisasi investasi pembangunan infrastruktur pada MP3EI per akhir 2013 mencapai Rp828,7 triliun (sektor riil dan infrastruktur) . Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI diperkirakan dapat mencapai Rp1.000 triliun.