Untuk menjadi yang pertama, bank dituntut untuk selalu berinovasi dalam layanan dan produk. Namun demikian ada juga prasyarat lain selain inovasi. Apa itu?
Oleh : Lila Intana
BERITA TERKAIT
Sejak revolusi industri yang dimulai sekitar abad 18, penemuan baru selalu bermunculan dan dicatat dalam sejarah. Meski demikian, tak sedikit pula penemuan alat dan teknologi baru yang sudah muncul jauh sebelum itu saat peradaban masih dipimpin oleh dunia Islam.
Dan di zaman informasi bergerak sangat cepat seperti sekarang ini, menjadi yang pertama kali menemukan sesuatu tentu menjadi kebanggaan tak terperi. Hal itu juga berlaku di dunia bisnis. Namun demikian, dunia bisnis memerlukan sebuah insentif yang bernama keuntungan sebelum menemukan sesuatu yang baru (invention) atau memperbarui sesuatu yang lama (innovation).
Pun demikian juga yang berlaku di industri perbankan. Meskipun begitu, perbankan tidak akan langsung meluncurkan sebuah penemuan produk atau layanan baru sebelum benar-benar diteliti. Hal itu sangat penting mengingat perbankan adalah industri dengan peraturan dan pengawasan yang ketat. Sedikit saja tidak sesuai dengan regulasi dari otoritas maka bukan kebanggaan yang akan diterima melainkan rasa terpuruk.
Selain itu pelaku perbankan pasti terlebih dahulu mempertimbangkan apakah penemuan itu akan memberikan keuntungan bagi perusahaan atau tidak. Tidak hanya keuntungan sesaat tapi keuntungan yang berkesinambungan.
Kesempatan atau bahkan keharusan untuk berinovasi sejatinya menemukan momentumnya ketika fungsi bank mulai bergeser dari sekedar tempat menyimpan uang atau meminta kredit. Kini bank bisa memberikan layanan pengelolaan kekayaan, gaji, kas perusahaan malahan sampai ke urusan perlindungan jiwa.
Peralihan dari fungsi konvensional ini memaksa bank berlomba-lomba memberikan layanan sebaik mungkin dan dapat menyentuh sebanyak mungkin kebutuhan nasabah. Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong bank untuk terus berinovasi dalam produk dan layanan.
Iming-iming bunga kini sudah tidak cukup lagi untuk dijadikan jurus andalan dalam persaingan antar bank, baik di mata bank-bank itu sendiri maupun di mata masyarakat. Bagi perbankan, diperlukan jurus yang lebih ampuh dalam menggaet calon nasabah. Lihat saja bagaimana bank-bank yang ada saat ini menawarkan berbagai macam inovasi produk dan layanan.
Bagi Indonesia, gelombang besar inovasi dalam menawarkan produk dan layanan perbankan dimulai sejak dampak krisis moneter mulai memudar pada awal 2000-an. Hal tersebut juga ditandai oleh banyaknya bank-bank nasional yang beralih pemilik kepada investor asing pasca penjualan aset perbankan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Meskipun begitu bukan berarti sebelum masa itu, perbankan nasional sepi inovasi. Beberapa bank, baik yang masih dikenal saat ini ataupun sudah tutup, telah melakukannya dengan mempelopori munculnya beberapa produk dan layanan perbankan di saat bank lain belum memikirkannya.
Sebut saja Bank Niaga. Bank yang sekarang dikenal sebagai Bank CIMB Niaga karena sudah diakuisisi oleh investor Malaysia, CIMB Group sudah meluncurkan layanan khusus untuk nasabah kaya dengan atau private banking pada 1991. Kini layanan itu sudah menjadi kelaziman bagi bank-bank menengah dan besar.
Atau mungkin Bank Duta? Bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan industri perbankan nama Bank Duta memang belum luput dari ingatan. Pasalnya bank ini adalah bank yang tercatat pertama kali menerbitkan dan mengedarkan kartu kredit di Indonesia. Pada era 1980-an bank yang sekarang tinggal nama ini menerbitkan kartu kredit bekerja sama dengan VISA dan MasterCard. Namun selain itu juga ada BCA yang menerbitkan kartu kredit meski hanya berlaku internal.
Kalau soal siapa bank yang pertama kali memiliki fasilitas mesin anjungan tunai mandiri (ATM) mungkin belum banyak yang tahu. Mesin tarik tunai ini pertama kali dimiliki oleh Bank Bumiputera. Bank ini pertama kali memperkenalkan ATM di Indonesia meski saat ini kita lebih mengenal BCA karena jaringan ATM yang kuat. Bahkan bank ini pula yang pertama menggunakan komputer di industri keuangan dan digunakan secara meluas pada 1970-an.
Inovasi di Kartu Kredit
Dalam persaingan di industri perbankan yang makin meruncing, inovasi menjadi strategi mutlak untuk memenangkan kompetisi. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika hampir setiap waktu bank-bank meluncurkan sebuah layanan atau produk yang baru baik yang merupakan penyempurnaan produk lama ataupun yang memang benar-benar baru.
Dan di layanan kartu kredit semua itu bisa dengan jelas terlihat, meskipun tidak berarti di layanan lain minim inovasi. Ketatnya persaingan dalam produk kartu pembayaran itu membuat para penerbitnya berusaha memikat nasabah dengan aneka inovasi. Berbicara kartu kredit tak afdhal jika tidak mengikutisertakan Citibank.
“Inovasi adalah strategi mempertahankan bisnis kartu kredit. Kami juga berharap bisa mempertahankan market share dan malah mungkin meningkat,” kata Cards and Loans Head Citibank Suparman Kusuma.
Bank Central Asia (BCA) tak mau ketinggalan dalam berinovasi. Bank yang menggebrak industri perbankan dengan menjadi the first bank yang menggunakan teknologi satelit dalam koneksi mesin ATM-nya ini juga melakukan langkah terobosan. BCA menjadi bank yang pertama dalam memberikan nomor pribadi (personal identification number / PIN) pada kartu kredit.
Inovasi memang menjadi syarat mutlak agar perusahaan bisa bertahan dan memenangkan persaingan.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam jurnal Harvard Business Review yang dikutip dari laman resmi kantor berita CNN, para innovator biasanya memiliki lima kemampuan.
Pertama adalah kemampuan untuk menghubungkan berbagai ide (associating), kedua kemampuan merumuskan masalah (questioning), ketiga kemampuan mengamati (observing), keempat kemampuan untuk mengaplikasikan dan mencoba suatu ide (experimenting) dan terakhir adalah kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru (discovering).
Jika hal tersebut dikaitkan dengan perbankan maka tak pelak bahwa bank yang selalu inovatif memiliki karyawan yang setidaknya punya beberapa kemampuan yang disebutkan itu. Lihat saja yang terjadi pada Bank Danamon saat memperkenalkan strategi pemasaran yang inovatif pada layanan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan memperkenalkan program Danamon Simpan Pinjam (DSP).
Kinerja UMKM-nya dinilai berhasil meloncat dan berada di bawah BRI sebagai pemimpin pasar. Inilah yang kemudian memancing bank-bank lain untuk “membajak” pegawai-pegawai DSP.
Menurut Jacky Mussry, Vice President & Chief Knowledge Officer MarkPlus Inc, bankir-bankir berusia muda memang relatif lebih inovatif dan berani mengambil risiko. “Bankir muda biasanya lebih adaptif dan cepat menyesuaikan dengan hal-hal baru,” kata dia.
Meski demikian hal itu tidak berarti semua inovasi dan penemuan produk dan layanan terbaru dalam perbankan dilakukan oleh orang-orang muda.
Metamorfosis
Menjadi seorang inovator atau yang pertama, memang sulit, apalagi jika itu harus dilakukan di sektor perbankan. Namun jika strategi itu bisa dijalankan dan memberi manfaat maka kesulitan-kesulitan awal bisa teratasi. Bahkan sebuah bank bisa menjadi perusahaan yang diperhitungkan setelah sebelumnya bukanlah apa-apa. Cerita mengenai Grameen Bank, sebuah bank di Bangladesh bisa menjadi contoh.
Profesor Muhammad Yunus, si pendiri Grameen Bank, mulanya terdorong untuk menolong orang miskin dengan inovasi kredit mikro tanpa agunan, sebuah gagasan revolusioner di industri perbankan.
Meskipun awalnya menghadapi tentangan yang tak sedikit dan tantangan yang tak ringan, namun akhirnya terobosan Yunus berbuah hasil yang mencengangkan. Tingkat pengembalian banknya mencapai di atas 90 persen, jauh dari bank-bank yang menerapkan sistem agunan dalam skema kreditnya.
Dalam operasionalnya, bank itu sama sekali tidak mengikuti aturan bank konvensional, yang mengatakan bahwa orang miskin tidak layak memperoleh pinjaman karena tidak punya riwayat pinjaman dan tidak memiliki agunan, dan karena buta huruf, bahkan mustahil mampu mengisi formulir.
Malah usahanya tersebut membawanya untuk memenangi Hadiah Nobel tahun 2006. Yunus dianggap lebih hebat dari Martin Feldstein, Professor dari Harvard University yang menjadi Kepala Penasehat Ekonomi Reagen dan mulai tahun 90-an menjadi Board of Director AIG yang kolaps di tahun 2008.
Dia juga lebih hebat dari Laura Tyson, Professor dari University of California Berkeley yang menjadi Director of National Economic Counsil pada era pemerintahan Clinton, kemudian bergabung dengan Morgan Stanley yang ambruk saat krisis 2008. Lebih hebat dari Lawrence Summer, Professor, President of Harvard University yang juga menjadi konsultan salah satu perusahaan yang kolaps, Goldman Sach. SP