Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Pepatah itu tampaknya tidak berlaku dalam hal pemberian gaji kepada bankir. Di manapun di dunia ini, bankir-bankir selalu memperoleh gaji selangit. Bahkan di tengah belitan krisis utang, para bankir-bankir top di Eropa masih bisa menikmati kompensasi selangit. Padahal bank-bank yang dikelolanya sudah mengalami penurunan peringkat akibat risiko tinggi dari imbas krisis yang terjadi di Eropa.
Berita yang dilansir dari Financial Times pada medio Juni 2012 lalu menyebutkan, bos JPMorgan Chase Jamie Dimon dan bos Citigroup Vikram Pandit, telah mendapatkan kenaikan gaji lebih dari 12 persen dalam setahun, meski harga saham dan laba perusahaannya anjlok.
JPMorgan sebelumnya mengalami kerugian investasi senilai 2 miliar dollar AS akibat gagal hedging. Akan tetapi Dimon malah dapat kenaikan gaji 11 persen menjadi 23,1 juta dollar AS. Pemberian tambahan gaji yang signifikan tersebut sontak memicu perdebatan pemegang sahamnya di seluruh dunia. Pasalnya, gaji bankir-bankir papan atas sebelumnya memang sudah sangat besar, seperti yang ada di Citigroup dan Barclays.
BERITA TERKAIT
Walhasil, kondisi itu memaksa para petinggi Eropa berkumpul untuk membahas masalah bonus dan gaji para bankir.
Analisis yang dilakukan Financial Times itu juga menunjukkan, dari 15 bank raksasa yang baru saja turun peringkat, para bankirnya rata-rata dapat kenaikan gaji sekitar 11,9 persen atau naik sekitar 12,8 juta dollar AS. Kenaikan gaji ini merupakan yang kedua kalinya dilakukan dalam dua tahun berturut-turut. Padahal, dalam jangka waktu yang sama, pertumbuhan perusahaannya malah melambat.
Bahkan, karena mandegnya pertumbuhan bisnis, beberapa bank Eropa di Asia malah mempersiapkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemangkasan pegawai tersebut banyak dilakukan di divisi invesment banking dan brokerages. Kantor berita Reuters mencatat, sedikitnya 50-an orang sudah kena PHK dalam tiga bulan belakangan ini. Jumlah ini mungkin bakal bertambah seiring belum membaiknya ekonomi global.
Orang-orang yang dirumahkan itu berada di tingkat yang berbeda, mulai dari ekspatriat senior sampai bankir junior yang belum punya jam terbang tinggi. CLSA, Deutsche bank, Glodman sachs dan UBS merupakan bank-bank yang sudah melakukan PHK di Asia. Bahkan CLSA sudah melakukan pemecatan kepada 25 karyawan di Hong Kong dan 10 karyawan di India. “Dalam mengantisipasi situasi yang lebih parah dari ekspektasi pasar dan berlebihnya jumlah karyawan di industri perbankan, kami sudah mengambil putusan sulit dalam mengurangi pegawai,” kata Anna Tehan, juru bicara CLSA seperti dikutip CNBC beberapa waktu lalu.
Industri finansial, terutama bank, memang masih menjadi primadona di AS dan Eropa tak terkecuali di Indonesia, terutama karena menawarkan gaji dan bonus meski di tengah krisis seperti sekarang ini.
Malahan para petinggi bankir masih bisa mendapatkan kenaikan gaji dan bonus walaupun perusahaan yang dipimpinnya terkena penurunan peringkat oleh Moody’s karena risiko yang tinggi serta pertumbuhan perusahaan yang melambat.
Tak pelak, fenomena yang terjadi di bank-bank Eropa tersebut sekali lagi menjadi magnet kuat bagi para karyawan di industri lain atau para pencari kerja untuk memilih berkarier di bank.
Kasus yang terjadi di Eropa itu seperti mengulangi kasus serupa di Amerika Seriakt pada 2009 silam. Saat itu para bankir di Amerika Serikat (AS) tetap mendapatkan remunerasi dengan jumlah yang ‘wah’ setelah sejumlah bank diselamatkan (bailout) oleh pemerintah. Diyakini sebagian dana bailout digunakan untuk pembayaran remunerasi yang terutang.
Ketika itu Majalah The Economist mencatat, bankir dan pegawai di industri sekuritas lainnya yang masih bekerja mendapatkan 20,3 miliar dollar AS. Jumlah itu lebih besar 17 persen dari yang diberikan pada 2008. Inilah yang kemudian memicu protes dari para pembayar pajak di AS.
Setelah demonstrasi besar-besaran mencuat, Presiden Barack Obama mengeluarkan kebijakan pembatasan bonus dan gaji bankir, terutama pada institusi yang mendapatkan uang negara. Mereka tidak boleh menerima pendapatan lebih dari 500 ribu dollar AS per tahun. Kebijakan itu pun menyebar ke nagara-negara lain, terutama di kawasan Eropa.
Aturan Remunerasi
Suara-suara yang mendesak pembatasan atau pengaturan kembali salary dan bonus eksekutif bank kemudian diformalkan dalam pertemuan negara-negara G20 di London pada April 2009. Lewat forum bernama Financial Stability Forum (FSF) digulirkan beberapa prinsip soal kompensasi kepada lembaga atau industri keuangan global.
FSF yang kemudian berubah menjadi Forum Stability Board (FSB) adalah sebuah badan internasional yang memonitor dan membuat rekomendasi sistem keuangan global. Anggotanya terdiri dari pejabat-pejabat bank sentral dan lembaga keuangan dunia yang tergabung dalam G20.
Dari kajian yang dilakukan FSF, praktik pemberian kompensasi tinggi kepada bankir adalah salah satu faktor penyebab meletupnya krisis keuangan pada 2008. Tingginya bayaran memicu adrenalin bankir untuk lebih berani lagi mengambil risiko dalam keputusan-keputusan bisnisnya. Bahkan keputusan itu tak jarang mengancam sistem keuangan.
Secara detail isi kajian (yang kemudian diratifikasi pada pertemuan KTT G-20 ketiga di Pittsburgh, AS, September 2009) tersebut, antara lain remunerasi harus dikaitkan dengan kinerja perusahaan dan permodalan, kompensasi yang diberikan harus mempertimbangkan keterkaitan dengan risiko bank dan adanya klausul untuk melakukan penangguhan pembayaran remunerasi, pembatasan jaminan pemberian bonus, adanya asas keterbukaan kepada publik, dan pengawasan serta sanksi.
Itu artinya, remunerasi bankir harus diberikan dengan pertimbangan risiko ke depan, bukan pencapaian yang telah lalu. Jika bankir diberikan remunerasi besar, namun gagal mengantisipasi risiko di tahun mendatang, maka yang menerima remunerasi dianggap tidak bertanggung jawab.
Sementara soal pemberian bonus akan ditahan selama periode tiga sampai enam tahun. Tujuannya adalah untuk mengikat para bankir yang biasanya mengambil risiko besar dengan menggunakan investasi dari bank tempat mereka bekerja. Serta memaksa mereka untuk mengambil inisiatif tanggung jawab lebih lama terhadap keputusan yang mereka buat selama menjadi bankir.
Di samping itu, akan ada semacam persyaratan tertentu, yang diatur, yakni berupa aturan eksekusi remunerasi. Misalnya, remunerasi tertentu dapat dieksekusi beberapa tahun kemudian. Atau, remunerasi tidak dapat dieksekusi apabila tingkat risiko bank makin tinggi, sehingga menguras permodalan. Namun demikian, semua implementasi aturan tadi akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara peserta G20