JAKARTA, Stabilitas.id — Pandemi Covid-19 telah mengubah proses bisnis di semua industri, tak terkecuali sektor proteksi atau asuransi. Sebab, secara kasat mata suasana pandemi saat ini bisa diartikan sebagai representasi dari peran teknologi yang tidak bisa dihindari. Maka teknologi wajib dioptimalkan dalam menjalankan bisnis ke depan.
Demikian dikatakan Anggota Dewan Komisioner OJK, Riswinandi dalam Virtual Seminar ke-42 yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dengan tema “Industri Asuransi Jiwa: Hikmah dari Pandemi dan Bagaimana Selanjutnya” di Jakarta, hari ini, Selasa (10/03/2021).
“Dalam pelaksanaan bisnis, di asuransi jiwa produk yang dikaitkan dengan investasi ini masih mendominasi preminya, makanya kita beri kesempaakn pemasaran dilakukan secara virtual dengan persyaratan sesuai dengan persiapan IT masing-masing,” kata Riswinandi.
Dia menjelaskan, OJK akan terus mendorong industri asuransi untuk menyiapkan IT secara baik sesuai aturan yang berlaku. Sebab, hingga saat ini baru 12 perusahaan asuransi yang memenuhi aturan sebagaimana evaluasi implementasi IT oleh OJK.
“Harapannya segera yang lain ikuti, kalau mau berkontribusi ya segera periapkan fasilitas IT-nya,” tegas Riswinandi.
Lebih lanjut Riswinandi mengatakan, hal yang menarik dari transformasi digital di saat pandemi ini, mengutip penelitian Mckenzie bahwa 65 persen agen asuransi menyatakan konsumen proaktif dalam menanyakan produk yang berkaitan dengan kesehatan, kecelakaan dan penyakit lainnya, juga jasa online medial service. “Di Indonesia juga sudah memuali, bahkan beberapa RS sudah mulai lakukan. Saya saksikan konsultasi di RS kita buat appointment secara online dan disediakan waktunya, resep juga onlnine. Semua mengarah ke digital,” imbuhnya.
Menurutnya, proses secara digital ini berdampak signifikan, sehingga manajemen perusahaan asuransi harus mulai terapkan manajemen risiko teknologi informasi. “OJK sudah persiapkan (aturan) semoga tidak lama juga akan keluar POJK terkait manajemen risiko teknologi informasi sehingga di industri bisa punya guideline sesuai aturan POJK,” ungkap Riswinandi.
Secara umum, lanjutnya, industri asuransi masih mencatat pertumbuhan kinerja di saat pandemi saat ini. Kendati sempat mengalami dampak di awal pandemi, sebab portofolio investasi asuransi 70-80 persen berada di sektor pasar modal. “Dampaknya di awal pandemi perlahan juga mulai berkurang, terlihat dari pertumbuhan positif dari aset perusahaan secara year on year sekitar 1,73 persen di Januari, yakni Rp 734,64 triliun. Investasi juga tumbuh 1,34 persen,” papar Riswinandi.
Dari sisi permodalan, Riswinandi menyebutkan di awal tahun ini rasio solvabilitas asuransi masih baik. RBC asuransi jiwa di kisaran 535,08 persen dan asuransi umum di angka 343,47 persen. “Tentu ini kalau berjalan terus kita berharap akan memperbaiki kurva pertumbuhan dan sejalan dengn terus dilakukan vaksinasi,” pungkas Riswinandi.
Direktur Utama LPPI, Mirza Adityaswara sepakat bahwa Indonesia saat ini berada dalam masa pemulihan karena telah memasuki periode vaksinasi. Sejalan dengan itu ekonomi dunia sudah mulai pulih walau belum sesuai harapan. Namun secara year on year, GDP growth minusnya sudah berkurang. “Tahun 2021 ini mudah-mudahan pemulihan terus berlanjut sesuai harapan dan tumbuh 4,5-5 persen terpenuhi,” harap Mirza.
Untuk itu, Riswinandi lebih lanjut menambahkan, pihaknya telah bertemu dengan AAJI dan sepakat momentum pandemi ini bisa dijadikan momentum kebangkitan dari asuransi. “Jadi kembali ke pemahaman asuransi bahwa proteksi jadi yang utama.”
OJK saat ini juga sedang menggodok peraturan terkait pemasaran produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi. Hal ini sudah didiskusikan dengan asosiasi perusahaan asuransi bahwa dalam regulasi ini perlu memperhatikan beberapa point penting, terkait dengan ketentuan harus adanya tarif di perusahaan tersebut, penjelasan spesifikasi produk, transparansinya, dan tentu penyesuaian tata kelola investasi termasuk juga mengenai pembeli polis. “Karena belajar dari pengalaman selama ini banyak laporan masuk ke OJk yang menunjukkan tidak ada konmunikasi yang baik saat akuisisi dan berdampak pada klaim,” jelas Riswinandi.
Digital Shifting
Direktur Utana BNI Life, Shadiq Akasya di kesemoatan yang sama mengakui jika industri asuransi jiwa mengalami dampak seperti penurunan daya beli, pembataan aktifitas, kesulitan tatap muka, potensi peningkatan klaim dengan pandemi ini. Beberapa perusahaan asuransi yang meng-cover asuransi kesehatan mengalami kenaikan jumlah klaim, di samping tantangan pertahankan presistensi karena produk reguler. “Maka dengan adanya penurunan daya beli maka presitensi terdampak kalau kita tidak aktif tanyakan kembali pembayaranya. Lalu referensikan customer untuk shifting ke produk digital,” kata Shadiq.
Dia menjelaskan, pergeseran preferensi customer saat ini telah mengadopsi praktek digital selama pandemi. Sebab tercatat customer lebih banyak mengambil proses non face to face, sehingga berdampak pada turunnya transaksi layanan secara face to face, dan ini mempengaruhi tingkat penjualan.
Menurut Shadiq, yang harus dilakukan dalam tahapan digital transformasi, pertama adalah menentukan core value proposition, produk, service, chanel dan branding. Lalu tahap kedua ada digital proses, yakni bagaimana supportive environment, seperti sistem, regulasi, dan people.
Kemudian masuk ke tahap ketiga yakni ekosistem, ada bisnis model, partneship, dan marketing. Dan tahap keempat adalah further development. “Apa yang bisa dicreate dari data yang sudah ada. Ada AI yang membantu pemetaan nasabah dengan mesin learning,” pungkas Shadiq.
Di kesempatan yang sama, Elyn Wati, Ketua Bidang Kerjasama & Internasional AAJI mengungkapkan, digitalisasi adalah keharusan sebab dampak pandemi terhadap pertanggung sangat terlihat adanya penurunan. Total pertanggung di 2019 ada 58.500.900 orang, menurun 7 persen di 2020 yakni menjadi 53 juta orang. Akibatnya, bisnis perorangqn turun 2,7 persen dan kumpulan turun 8.6 persen. “Klaim turun tapi angkanya masih Rp150 triliun dan ada fenomena di industri adalah ada klaim yang biasanya tidak ditanggung polis asuransi jiwa, sekarang polis harus tanggung,” jelas Elyn.
Hingga Oktober 2020, AAJI mencatat perusahaan asuransi jiwa sudah membayar klaim Covid sebesar Rp 651,8 miliar. Sementara pendapatan bisnis baru dari keagenan turun signifikan dari 2019 yang sebesar Rp 37,04 triliun, di 2020 hanya Rp 25,15 triliun.
“Dari sini bisa dilihat suka atau tidak suka wajib digitalisasi agar agen bisa ketemu, tapi tetap ada penurunan di bisnis,” pungkas dia. Namun, Elyn mengingatkan, “Security jadi hal yang penting, jangan hanya ubah prosedur dan SOP, sistem harus aware tentang ransomware, data bridge, dll.”