Industri asuransi menderita ketika korban wabah terus melonjak dan akan berlangsung lebih lama dari perkiraan. Kondisi ini merupakan kesempatan asuransi untuk memperkuat pondasi bisnisnya setelah setahun lebih dalam penderitaan.
Oleh Syarif Fadilah
Pandemi tampaknya akan berlangsung lebih panjang dari prediksi semula. Para pelaku bisnis di sektor keuangan memang sudah mendapat uluran tangan dari otoritas untuk menghadapi dampak Covid-19 terhadap bisnis mereka. Namun pertanyaannya sampai kapan hal itu akan bertahan ketika kurva korban wabah masih terus meningkat.
Industri asuransi –terutama di lini kesehatan– boleh dibilang menjadi sektor yang paling terhempas di tengah krisis kesehatan yang bertransformasi menjadi krisis ekonomi ini. Bahkan kebergantungan pelaku bisnis asuransi akan tatap muka dan masih minimnya penggunaan teknologi digital makin membuat industri proteksi itu menderita
BERITA TERKAIT
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) pada 2020, industri membukukan premi Rp187,59 triliun. Jumlah tersebut menurun 6,1 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp199,87 triliun. Kedua jenis premi dalam industri ini juga tercatat mengalami penurunan. Pendapatan premi baru 2020 senilai Rp114,75 triliun terkoreksi 8,9 persen (yoy) dari Rp125,9 triliun, sedangkan premi lanjutan 2020 senilai Rp72,84 triliun menurun 1,5 persen (yoy) dari Rp73,94 triliun.
Penurunan tersebut tentu menjadi alarm buat pelaku industri karena pada tahun sebelum krisis asuransi jiwa juga sudah menghadapi tren pelambatan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2019 perolehan premi bruto industri asuransi jiwa yang dihuni oleh 61 perusahaan, tumbuh negatif 0,38 persen atau menjadi Rp185,33 triliun.
Pertumbuhan tersebut melanjutkan tren penurunan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Pada 2018 premi industri asuransi jiwa tumbuh 1,20 persen, anjlok sangat dalam dari capaian tahun sebelumnya yang tercatat tumbuh 16,23 persen.
Kemerosotan kinerja bisnis pada asuransi jiwa ini juga membuka tabir masalah yang selama ini bersemayam di dalamnya: lemahnya manajemen risiko dan tata kelola. Beberapa tahun lalu industri asuransi memang sudah dirundung masalah fraud dan gagal bayar dari sederet perusahaan.
Seperti yang dilaporkan oleh Fitch, lembaga pemeringkat global, yang menyebut bahwa tata kelola industri keuangan di Indonesia masih berisiko, terutama bagi kreditur dan investor. Hal ini makin diperparah oleh kondisi ekonomi yang melemah akibat adanya pandemi Covid-19.
Menurut laporan itu, mayoritas kegagalan di industri ini berasal dari lembaga keuangan nonbank. “Meskipun ada penguatan regulasi dan pengawasan, tetapi aturan di industri lembaga keuangan nonbank tidak ketat seperti sektor perbankan,” jelas keterangan tersebut.
Deposito, misalnya, merupakan salah satu produk investasi berjangka tinggi yang sering dipasarkan oleh perusahaan asuransi dan manajemen aset kepada masyarakat umum. Namun, Fitch Rating menilai alih-alih menghasilkan pengembalian yang signifikan di atas suku bunga pasar, produk ini justru merugikan mayoritas nasabahnya.
Hal ini tercermin dari serangkaian kasus gagal bayar di Indonesia. Hingga 2018 saja, dilaporkan bahwa kerugian dari kasus tersebut mencapai 3,5 miliar dollar AS. Salah satu kasus yang paling terkenal yakni, PT Asuransi Jiwasraya. Nominal gagal bayar dari perusahaan asuransi milik negara ini diperkirakan tembus hingga 1,2 miliar dollar AS.
Kasus yang mencuat pada Oktober 2018 ini muncul tak lama setelah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, sebuah perusahaan pembiayaan yang diduga memberikan piutang fiktif, mengalami gagal bayar dengan jumlah 300 juta dollar AS.
Kemudian, kasus serupa mencuat kembali pada akhir tahun 2019 dan kuartal I-2020 oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya. Koperasi ini menyusul kasus gagal bayar dengan total kerugian 1 miliar dollar AS.
Serangkaian kasus gagal bayar tersebut, menurut Fitch Rating, memperlihatkan bahwa tata kelola industri keuangan di Indonesia terus tertinggal oleh pasar yang semakin maju.
Tak kurang dari Menteri Koordinator Perekonomian yang mengingatkan agar pelaku bisnis keuangan Tanah Air memperhatikan mengenai praktik Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Airlangga Hartato mengatakan perusahaan harus memperhatikan semua stakeholders internal dan eksternal yang terdampak, dari para pemegang saham, pegawai, hingga konsumen akhir.
“Kita juga melihat pentingnya kecepatan perusahaan merespons terjadinya hal-hal yang sebelumnya tak terduga. Semuanya menekankan kembali kebutuhan terhadap tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) sebagai fondasi utama pengambilan keputusan yang lebih baik,” kata Airlangga beberapa waktu lalu.
Tidak seperti perbankan, GCG di sektor asuransi memang belum terlalu kentara meski otoritas sudah mengeluarkan aturan terkait itu. Tata kelola di sektorperbankan sudah disorot semua orang pasca krisis moneter menerpa ekonomi Indonesia. Kemudian atas desakan lembaga donor, otoritas perbankan mendesak pelaku bisnis untuk menerapkan praktik GCG dan memperketat pengawasan di bidang itu sejak tahun 1999.
Sektor asuransi, di sisi lain, baru menjadikan GCG sebagai elemen esensial mulai 2016 ketika Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan Nomor 73/POJK.05/2016 Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. Pada 2019, aturan itu kemudian diperbarui menjadi Peraturan No. 43 /POJK.05/2019.
Berdasarkan aturan baru, otoritas mewajibkan setiap perusahaan asuransi untuk menunjuk satu orang anggota Direksi yang membawahi fungsi kepatuhan. Posisi direksi ini tidak boleh dirangkap oleh anggota Direksi lain yang membawahi fungsi teknik asuransi, fungsi keuangan, atau fungsi pemasaran.
Aturan tersebut terbit setelah kasus Jiwasraya meledak pada 2018. Menurut pelaku bisnis, sejatinya aturan terkait GCG sebenarnya sudah cukup mumpuni, hanya dalam implementasinya memang banyak menghadapi tantangan. “Implementasinya bergantung dari komitmen dari top management dan pemegang saham di setiap perusahaan. GCG tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ada dukungan dari top management dan pemegang saham,” Direktur Kepatuhan PT AXA Mandiri Financial Services (AXA Mandiri) Rudy Kamdani, beberapa waktu lalu.
Tidak seperti perbankan juga yang sudah memilki sistem untuk menerapkan dan mempublikasikan praktik GCG-nya, perusahaan asuransi belum mempunyai standar serupa. Rudy berharap secepatnya ada suatu mekanisme atau inisiatif yang dilakukan regulator untuk memberikan penilaian terhadap GCG perusahaan asuransi seperti juga perbankan.
Diharapkan ada suatu mekanisme yang membuat nasabah dapat mengakses untuk mengetahui bahwa perusahaan tersebut memiliki GCG dan manajemen risiko yang bagus. Sebabnya sampai saat ini perusahaan asuransi melakukan penilaian sendiri terhadap risk assesment-nya dan tidak bisa diakses publik.
Unitlink dan Digital Shifting
Salah satu produk andalan asuransi jiwa adalah unitlink. Namun demikian produk yang memberikan dua keuntungan sekaligus yaitu proteksi dan investasi, itu juga kerap menjadi ancaman mengingat banyaknya keluhan dari masyarakat.
Di saat praktik digital makin merebak, produk ini menjadi ancaman tersendiri bagi asuransi seiring meningkatnya nasabah yang merasa dirugikan dan mengadu kepada regulator. Selama seperempat jalan tahun ini saja OJK mendapat 273 aduan soal unit link. Angka itu sudah separuh dari total aduan yang masuk sepanjang 2020 yakni sebanyak 593 aduan. Jumlah itu meningkat dibanding 2019 sebanyak 360. Lalu, melonjak hampir dua kali lipat pada 2020 menjadi 593 laporan. Menurut OJK banyaknya pengaduan terkait unit link diakibatkan olah pemasaran yang tidak jelas.
Pemasaran memang menjadi tantangan tersendiri bagi asuransi di masa pandemi yang jelas-jelas menurunkan daya beli masyarakat ini. Pembatasan aktifitas telah menyulitkan kesempatan tatap muka padahal para agen sangat mengandalkan hal ini pada saat memasarkan produknya. “Customer lebih banyak mengambil proses non face to face, sehingga berdampak pada turunnya transaksi layanan secara face to face, dan ini mempengaruhi tingkat penjualan,” kata Direktur Utama BNI Life, Shadiq Akasya.
Menurut dia, yang harus dilakukan perusahaan saat ini adalah segera melakukan transformasi digital meskipun secara bertahap. Tahap pertama adalah menentukan core value proposition, produk, service, chanel dan branding. Lalu tahap kedua ada digital proses, yakni bagaimana supportive environment, seperti sistem, regulasi, dan people.
Kemudian masuk ke tahap ketiga yakni ekosistem, ada bisnis model, partneship, dan marketing. Dan tahap keempat adalah further development. “Apa yang bisa di-create dari data yang sudah ada. Ada AI yang membantu pemetaan nasabah dengan mesin learning,” pungkas Shadiq.***




.jpg)
.jpg)










