Keamanan dan kenyamanan itu berbanding terbalik. Jika Anda ingin kenyamanan pada titik ekstrem, maka akan menghilangkan keamanan. Begitu sebaliknya, keamanan yang berlebihan akan menghilangkan kenyamanan. Dan fenomena merebaknya bitcoin bisa ditilik dari sudut pandang tersebut.
Transaksi dengan menggunakan mata uang virtual itu benar-benar menawarkan kenyamanan pada titik ekstrem. Bayangkan, di saat hampir semua negara mengeluarkan aturan bahwa transaksi di lembaga keuangan dalam jumlah tertentu harus menjelaskan asal-usul dana, dengan bitcoin hal itu tak berlaku.
Selain itu, jika sebuah transaksi biasanya bisa dilacak oleh otoritas, dengan bitcoin hal itu tak dapat dilakukan.
Namun begitu jangan harap jika kehilangan sejumlah bitcoin dalam transaksi ataupun ketika berada di rekening, Anda bisa meminta ganti rugi. Karena hingga kini tak ada satu otoritas moneter pun yang menjamin transaksi menggunakan bitcoin.
Di Indonesia, perihal bank sentral tidak mau menjamin bitcoin disebabkan mata uang itu tidak memenuhi falsafah sebagai sebuah mata uang. Mantan
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, yang kini menjabat Kepala BI Medan, mengatakan, secara filosofis, bitcoin tidak memenuhi
falsafah sebuah mata uang. “Sehingga dilarang untuk beredar sebagai alternatif pembayaran,” kata dia.
Sesuatu dikatakan sebagai mata uang, terang Difi, harus memenuhi beberapa kriteria. Salah satunya, adalah harus adalah dikeluarkan oleh suatu lembaga yang jelas, sehingga jika alat pembayaran tersebut tidak laku, lembaga yang merilisnya akan bertanggung jawab.
“Contoh, jika rupiah ditolak, maka BI yang akan bertanggung jawab.” Singkatnya, BI melalui Difi menegaskan bahwa bitcoin bukanlah mata uang, alat untuk transaksi sebagaimana filosofi mata uang. Selain itu karena peredarannya di dunia maya, maka peredaran uang itu tidak memiliki batasan. Dengan itu pula, sulit untuk dilacak transaksinya.
Namun, meski tidak mendapatkan lisensi dari BI, pamor uang virtual itu di Indonesia tidak lantas surut. Bitcoin banyak digunakan untuk alat investasi. Menurut Oscar Darmawan, Founder Bitcoin Indonesia, masyarakat Indonesia banyak yang menggunakan bitcoin sebagai alat investasi. “Bahkan broker forex mulai menerima media bitcoin sebagai deposit,” kata dia.
Investasi di bitcoin dinilai Oscar seperti membeli emas, namun keberatan jika dianggap sebagai bentuk judi. Ketika memiliki dana sekitar Rp2 juta-Rp 10 juta, seseorang dapat membeli barang dengan file bitcoin. Selanjutnya bitcoin dapat dijual kembali. “Kalau judi beli nomor maka tidak mungkin dijual lagi,” kata Oscar.
Sebagai alat investasi, peminat bitcoin dinilai akan menikmati untung dari pergerakan harganya. Karena sedari awal sudah ditetapkan bahwa persediaannya terbatas sedangkan permintaannya naik. Tak heran di negara seperti Amerika, bitcoin berkembang pesat. Di Amerika, bitcoin ini dapat digunakan sebagai alat pembayaran dengan menggunakan bitpay.com. Perusahaan ini melayani jasa pembayaran dengan bitcoin.
Payment gateaway ini sekarang di Amerika Serikat sangat dipercaya oleh masyarakat. Bahkan salah satu investor yang merupakan orang terkaya di Asia Li Ka Sing melakukan investasi 2,7 juta dollar AS kepada bitpay. Ini sangat menarik karena semua online shop yang menggunakan bitpay kemudian menerima pembayaran dalam bentuk bitcoin, otomatis berubah menjadi dollar AS sehingga pihak online shop tidak perlu repot menjual bitcoinnya.
Sementara di Indonesia, kata Oscar, yang tertarik dengan bitcoin ini adalah perorangan dari komunitas teknologi informasi. Biasanya mereka mencoba beli bitcoin dalam skala Rp 10 juta-Rp 50 juta. Berbeda dengan di Amerika Serikat, perusahaan investasi juga dapat masuk ke bitcoin. Sementara itu, bagi seseorang yang dapat bertransaksi dengan bitcoin, pihaknya menerima transaksi minimal Rp50 ribu.
Bitcoin memang tengah menjadi incaran sebagian investor yang berniat mengambil untung dari fluktuasi mata uang tersebut. Biar begitu, bukan berarti BI bisa menerima alasan bahwa bitcoin bisa menjadi alat investasi yang berpeluang mendapatkan izin regulator.
Menurut Difi, dari BI, meski mengalami penguatan dan pelemahan, yang terjadi di bitcoin tidak memiliki penyebab yang jelas. “Beda dengan rupiah. Sebagai alat investasi di pasar uang rupiah juga mengalami pelemahan dan penguatan namun posisi itu ditentukan oleh inflasi,” kata dia.
Di sisi lain, hasil riset BI menyebutkan produksi bitcoin dibatasi hingga masa tertentu. Jumlah bitcoin ini memang terbatas hanya sekitar 12 juta bitcoin. Bitcoin akan dihasilkan sekitar 25 bitcoin dalam setiap rentang 10 menit.
Pembatasan tersebut dinilai menyalahi filosofi mata uang yang tidak dibatasi pencetakannya namun dengan perhitungan yang teliti. Dalam mencetak uang, bank sentral biasanya mengumpulkan informasi dari masyarakat, seperti soal berapa kebutuhan di tiap daerah. “Tidak ada rumus BI harus membatasi seperti halnya Bitcoin. Jadi kalau Bitcoin ada pembatasan, ini bertabrakan dengan falsafah alat pembayaran. Namanya uang tidak boleh dibatasi,” tegas Difi.
Risiko Investasi
Akan tetapi, meski tak mendapat lampu hijau, banyak orang yang tetap mengincar bitcoin yang terlihat dari tingginya permintaan software untuk menambangnya. (baca: Menambang di Ladang Virtual). Hal itulah yang turut mendongkrak harga yang juga otomatis meningkatkan risiko dari bitcoin.
“Karena ketika orang melihat bitcoin menguntungkan, maka mendorong yang lain untuk membuat alternatif investasi yang baru. Maka, nilai bitcoin lambat laun akan berkurang. Kondisi ini mengingatkan kita dengan dengan kemunculan reksadana. Awalnya diserbu nasabah, namun ketika harga turun, semua orang dibuat panik hingga ditinggalkan nasabahnya,” jelas Difi.
Bank sentral mengakui jika bitcoin memang popular di dunia maya karena kepraktisannya. Sama halnya dengan masyarakat yang tidak mau lagi menggunakan emas karena ada uang kertas yang lebih diterima dimana-mana. Nah, sekarang ini, maraknya online trading membuat mata uang berbentuk fisik seperti rupiah terkesan mulai ditinggalkan. Sehingga lebih praktis dengan menggunakan alternatif seperti bitcoin.
Risiko lainnya adalah dalam mekanisme penyimpanan. Bitcoin disimpan dalam sebuah wadah maya berbentuk dokumen di komputer yang dinamakan wallet. Saat menyimpan di dompet digital inilah pemilik bitcoin berisiko kehilangan barang miliknya itu karena ‘dijebol’ hacker atau karena lupa kode sandi. Kerugian ini tentunya tidak bisa dilaporkan karena tidak ada payung hukumnya.
Kekhawatiran ini pernah terjadi, ketika pada pekan terakhir Januari lalu, Wakil Presiden Bitcoin Foundation, Charlie Shrem, didakwa oleh Jaksa Amerika Serikat telah melakukan konspirasi pencucian uang karena menyalurkan uang tunai secara online dengan bitcoin. Adapun Bitcoin Foundation adalah kelompok perdagangan yang mengadopsi mata uang digital.
Kantor Berita Reuters melansir, Shrem didakwa telah mengoperasikan bisnis penyaluran uang tak berlisensi dengan nilai pencuian uang diperkirakan mencapai 1 juta dolar AS. Shrem dulunya merupakan CEO BitInstan, sebuah perusahaan penukaran Bitcoin yang tutup musim panas lalu.
Menurut jaksa, Shrem berkonspirasi dengan warga penduduk Florida, Robert Faiella yang menjalankan bisnis ilegal itu. Mereka berhasil menjual lebih dari 1 juta dollar AS dalam bentuk bitcoin kepada konsumen di Silk Road. Perdagangan itu kemudian ditutup oleh pihak berwenang.
Bitcoin, harus diakui memang mencerminkan kebutuhan alat tukar utama dalam ekonomi pada tingkat global. Hal ini karena bitcoin menjadi mata uang yang independen, transparan dan membawa revolusi keuangan. Selain itu, bitcoin membuat pengguna transaksi menjadi sangat nyaman.
Namun demikian, tetap saja risikonya (jika terjadi) akan membuat Anda tidak akan pernah nyaman.