Meskipun di pundaknya terdapat peran sebagai lembaga intermediasi yang menghubungkan pihak yang membutuhkan dengan pihak yang kelebihan dana, bank sejatinya tetap
merupakan lembaga bisnis. Pertimbangan
untung dan rugi tetap menjadi faktor
pendorong lembaga itu dalam setiap
pengambilan keputusan. Dalam hal
menempatkan atau menyalurkan setiap
rupiah yang dimilikinya, bank tentu
ingin selalu memaksimalkan tingkat
pengembalian (return), tanpa melupakan
faktor risiko yang harus dihadapi. Itulah
sebabnya bank selalu melakukan analisis
menyeluruh untuk setiap calon debitur
yang akan diberikan kredit agar tidak
berakhir menjadi kredit macet.
Risiko kredit macet adalah momok
terbesar perbankan dalam menjalankan
fungsi intermediasinya. Belajar dari
pengalaman selama bertahun-tahun, bank
menyusun strategi untuk menghindari
risiko ini. Setidaknya ada beberapa
poin penting yang perlu dilakukan bank
sebelum memberikan kreditnya pada
debitur.
Menurut Pardi Sudrajat, salah satu
ketua dari lembaga bankir-bankir pelaku
manajemen risiko atau BaR, setidaknya
ada tujuh aspek dalam memitigasi
risiko penyaluran kredit. Awalnya bank
melakukan proses analisis risiko kredit
yang akan dinilai mulai dari aspek
kualitatif, teknis, pasar, legal agunan dan
covenant.
Selain itu, bank juga menyiapkan sistem rating dan scoring untuk
memberikan penilaian terhadap debitur
yang akan mendapatkan dana kredit.
Bank juga perlu melakukan supervisi
portofolio. Hal ini ini untuk membantu
mengendalikan kredit yang sudah
disetujui. “Baru setelah itu, bank
menyiapkan manajemen portofolio.
Hal itu penting untuk mengetahui agar
kucuran kredit yang diberikan hanya
terkonsentrasi pada satu industri, geograï¬
serta komoditi tertentu saja,” kata Pardi.
Proses penyaluran kredit pada
sektor-sektor ekonomi berdasarkan
proses instrumen tersebut, ujar Pardi
dilakukan untuk memitigasi risiko. Setelah
permohonan kredit disetujui, bank dinilai
juga perlu menyiapkan bagian yang
bertugas menyelesaikan masalah jika nanti
gagal bayar.
Sementara itu Ketua Harian Badan
Sertiï¬kasi Manajemen Risiko (BSMR)
Gandung S Troy mengatakan, dalam manajemen risiko, proses penyaluran
kredit memiliki petunjuk yang bisa jadi
mitigasinya. “Salah satunya dengan
melihat portofolio kreditnya,” ujar dia.
Dalam portofolio akan diketahui industri
mana yang memiliki peringkat bagus. Jika
berdasarkan sektor ekonomi, maka harus
dilihat sektor yang menjadi prioritas dari
anggaran negara ataupun sektor usaha
yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Karena itu, kata Gandung, riset
pasar menjadi penting dilakukan dan
diterapkan. Sebab hasil riset tersebut yang
akan memandu pemberiak kredit untuk
sektor dan geograï¬snya. Keberadaan datadata
tersebut akan menjadi bahan kajian
penyaluran kredit. “Sayangnya banyak
bank yang menyalurkan berdasarkan
feeling belaka bukan analisis pasar,” tambah
dia.
Berdasarkan PDB
Apa yang dikatakan mantan bankir dari Bank Mandiri itu bukannya tanpa
fakta. Banyak bank yang menyalurkan
kredit tidak dilandasi dengan analisis pasar
dan data ekonomi yang nyata. Salah satu
buktinya adalah data produk domestik
bruto (PDB). Jika bank-bank menjadikan
PDB sebagai haluan utama dalam
memberikan kredit tentunya mereka selalu
mengincar sektor usaha yang memberi
sumbangan terbesar pada PDB.
Namun nyatanya tidak semua bank
melakukannya. Jika melihat faktanya
maka hanya Bank Tabungan Negara yang
menjadikan data pertumbuhan dalam hal
ini PDB menjadi haluan dalam penyaluran
kredit (lihat artikel BTN yang Keluar dari
Cangkang). Meski begitu, bank-bank lain
tetap mempertimbangkannya walaupun
bukan sebagai sektor yang menjadi incaran
utama.
Pada praktiknya, tidak bisa dipungkiri,
pertimbangan bank dalam menyaluran
kredit lebih banyak dipengaruhi faktor
lancar tidaknya arus kas sektor itu. Jika
sebuah sektor ekonomi kondisinya tidak
dalam kondisi bagus, maka perbankan
akan berpikir dua kali dalam menyalurkan
kreditnya pada sektor tersebut.
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), sepanjang tahun lalu
hingga kuartal pertama tahun ini,
penyumbang pertumbuhan terbesar
berasal dari sektor pengangkutan dan
telekomunikasi.
Pertumbuhan semua moda
transportasi dan pengangkutan, baik
di darat, laut dan udara semakin pesat.
Dengan makin meningkatnya kelas
menengah, maka kepemilikan pada alat
transportasi akan makin tinggi. Begitu
juga dengan tingkat bepergian atau tingkat
kunjungan dari tempat-tempat wisata di
Indonesia.
Hal serupa terjadi pada sektor
telekomunikasi. Tingkat Penggunaan dan kepemilikan alat komunikasi pada
masyarakat Indonesia semakin besar
jumlahnya. Maka tidaklah mengherankan
jika beberapa bank tampak sekali
menjadikan sektor itu sebagai tujuan
utama penyaluran dana.
Di sisi lain, dilihat dari mitigasi
risikonya, sektor pengangkutan dan
telekomunikasi dinilai relatif lebih mudah
karena yang bermain pada sektor ini
kebanyakan korporasi besar. Mitigasi yang
dilakukan bankir biasanya dengan cara
melihat portofolio kredit sebelumnya,
seperti dari tingkat pembayarannya.
Begitu pula pada mitigasi di sektor
pengangkutan. Apalagi pelaku usaha yang
bermain di sektor ini adalah pelaku ritel
sehingga mitigasi risikonya pun jauh lebih
mudah. Terbitnya peraturan BI yang
mewajibkan pembayaran uang muka 30
persen dari yang dibiayai membuat bank
lebih mudah dalam memitigasi risiko
sektor itu.
Persoalan Struktural
Lalu mengapa bank-bank tidak banyak
yang memberikan kreditnya pada sektor
pertanian, padahal sektor itu digeluti oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia?
Jawabannya adalah risiko di sektor itu juga
sangat besar, mulai dari risiko alam hingga
risiko struktural.
Menurut Pardi dari BaR, sektor
pertanian tidak menarik bagi bank bukan
saja karena sumbangan PDB yang kecil,
tetapi ada masalah lain di luar bank.
Biar begitu, sejatinya kata dia, saat ini
perbankan sedang bersiap memberikan
pembiayaan pada sektor pertanian untuk
menyukseskan program swasembada
pangan pemerintah pada 2015.
Memang harus diakui, sektor
pertanian masih menjadi momok bagi
kredit perbankan karena dinilai memiliki
risiko tinggi. Mulai ekonomi biaya tinggi, infrastruktur yang masih minim.
Akibatnya banyak pelaku usaha yang
mengajukan kredit untuk sektor ini enggan
mengambil kredit yang sudah disetujui.
“Pada prinsipnya bank tidak milih-milih
dalam penyaluran kreditnya. Jika saat ini
penyaluran kredit lebih besar pada sektor
industri pengolahan kerena industri sudah
bagus. Jika sudah bagus, tidak akan ada
ketakutan untuk gagal bayar karena terjadi
perputaran dalam arus kas,” kata Pardi.
Hal yang sama dikatakan Gandung S
Troy. Minimnya bank yang melirik sektor
pertanian untuk penyaluran kreditnya
bukan karena pasarnya yang kecil. Malah
sebaliknya kata dia, sektor ini pasarnya
sangat besar yang bisa dilihat dengan
banyak impor beras dan kedelai. Importasi
hortikultura saat ini menunjukkan bahwa
kebutuhan produk pertanian dalam negeri
sangat besar.
Akan tetapi persoalan struktural pada
sektor pertanian yang membuat bank
masih berpikir dua kali untuk mengincar
sektor itu. Persoalan kepemilikan lahan
petani yang kecil-kecil, lahan yang tidak
jelas karena tidak memiliki bukti hak
kemilikan tanah sebagai jaminan, sampai
minimnya program pengembangan yang
terstruktur dari pemerintah, membuat
bank ragu memberi kredit ke sektor
pertanian. Akibatnya pertanian menjadi
tidak berkembang. “Bank komersil untuk
berikan kredit pada perseorangan akan
susah sekali karena kepemilikannya kecilkecil,”
kata Gandung.
Jadi selama tidak ada kebijakan
terstruktur dari pemerintah terhadap
sektor pertanian, selamanya sektor ini
tidak akan dilirik perbankan. “Selama
pemerintah tidak turut campur tangan
tidak akan menarik bank karena
ketidakpastian yang besar dan risiko yang
besar,” kata Gandung.