Zaman memang telah berubah. Setiap masa mempunyai normanya sendiri. Di masa lalu, banyak aturan-aturan yang semula dianggap tabu dan harus ditutup rapatrapat, kini justru didorong untuk dibuka lebar-lebar. Misalnya, soal gaji. Dahulu, seperti ada aturan tidak tertulis, kita dilarang keras mempublikasikan besarnya gaji. Sebab, memberitahu publik tentang nilai uang yang mengalir ke kantong dapat dianggap pamer atau sombong. Sebaliknya, kita juga diminta memendam dalam-dalam rasa ingin tahu tentang besarnya gaji orang lain, karena dinilai kurang pantas, usil, dan kurang kerjaan.
Tetapi lain padang lain belalang, lain dulu lain pula sekarang. Kini, buka-bukaan besarnya gaji bukan lagi wilayah terlarang. Sejak wacana praktik tata kelola yang baik (good governance) mengemuka, dorongan agar perusahaan mempublikasikan besarnya gaji, khususnya pendapatan yang diterima manajemen kunci perusahaan, semakin menguat. Bahkan, bagi perusahaan tertentu, seperti bank yang listing di Bursa Efek Indonesia, membeberkan gaji yang diterima direksi atau komisaris sudah jadi keharusan alias hukumnya wajib.
Pertanyaannya, mengapa gaji pengelola bank perlu dibuka kepada publik? Menurut hemat saya, paling tidak ada dua alasan utama yang melatarinya.
Pertama, aspek keadilan prestasi (achievement of justice). Maksudnya, transparansi gaji memungkinkan publik menilai, apakah bankir telah menerima gaji sesuai performanya atau tidak. Di bawah sorotan masyarakat yang ikut mengawasi, diharapkan tidak terjadi lagi kasus-kasus bankir berkinerja melempem namun mendapat bayaran tinggi. Sebaliknya, bankir yang berprestasi baik justru hanya memperoleh imbalan sekadarnya.
Singkatnya, lewat transparansi remunerasi, publik jadi bisa membandingkan berapa sebenarnya remunerasi yang pantas diterima bankir jika dikaitkan terhadap kinerja perusahaan. Hal ini penting karena tidak setiap tahun kinerja perusahaan itu kinclong. Dengan transparansi, manajemen jadi tidak bisa seenaknya meminta kenaikan remunerasi. Selain itu, transparansi remunerasi juga akan membuat bankir lebih kompetitif karena ia tentunya ingin bekerja pada bank yang mampu membayar dengan pantas.
Tetapi tentu saja dalam mengaitkan prestasi dengan gaji ini dibutuhkan kecermatan tinggi. Paling tidak, publik perlu mewaspadai strategi bankir yang bisa saja hanya menimbulkan prestasi instan yang bersifat jangka pendek dan kontra produktif untuk jangka panjang. Misalnya, seorang eksekutif membuat kebijakan yang dalam tempo singkat sukses menggenjot omzet banknya. Namun, bila dicermati, kebijakan yang dia buat ternyata berisiko terhadap omzet bank tersebut di tahun-tahun berikutnya.
Kedua, aspek keadilan berkelanjutan (sustainable justice). Transparansi gaji bankir memungkinkan stakeholder ikut bertanggung jawab atas keberlangsungan (sustain) bisnis bank. Keadilan berkelanjutan juga berarti, mekanisme remunerasi bankir perlu mempertimbangkan kepentingan para stakeholder, yaitu pemilik, karyawan, nasabah, masyarakat, pemerintah, dan bahkan alam. Dari sudut pandang pemilik, transparansi gaji membuat owner bisa terlibat aktif mengawasi mekanisme remunerasi para bankirnya bisa berjalan dengan efektif. Misalnya, dengan memastikan besarnya remunerasi bankir tidak menggerus likuiditas perusahaan atau menggrogoti laba bank.
Sementara, dari kaca mata karyawan, tranparansi gaji membuat pekerja di level lebih rendah bisa ikut mengawasi skema perhitungan remunerasi agar tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Misalnya, memastikan rasio gaji antara atasan dan bawahan relatif wajar dan bukan sebaliknya. Sebab, apabila perbedaan pendapatan antara karyawan sangat jomplang, berisiko mengakibatkan ketidakpuasan pekerja. Alhasil, motivasi pegawai akan menurun yang berpotensi mengganggu performanya. Dan, jika berlanjut bisa berdampak negatif pada kinerja bank secara keseluruhan, serta mengancam keberlangsung bank bersangkutan.
Transpansi gaji juga penting bagi nasabah, debitur maupun kreditur. Informasi besarnya gaji bankir dapat digunakan nasabah untuk mengetahui kesungguhan bank dalam mengelola dana nasabah. Salah satunya, kita jadi bisa menilai, apakah nominal remunerasi bankir akan berdampak terhadap tingkat efisiensi bank tersebut atau tidak. Nasabah yang cerdas tentu saja akan menghindari bankbank yang terlalu royal membayar bankir hingga meroketkan biaya operasionalnya.
Bagi nasabah debitur, tingginya inefisiensi bank bisa berarti suku bunga kredit yang tinggi. Adapun bagi nasabah kreditur, inefisiensi bank merupakan indikasi suku bunga simpanan akan rendah. Sama dengan stakeholder yang lain, pemerintah pun perlu mengetahui besarnya gaji para bankir. Tujuannya, antara lain, memastikan besarnya remunerasi bankir bukan merupakan tindakan moral hazard untuk memperkaya diri sendiri. Apalagi kita sudah memiliki contoh di AS, bagaimana sistem remunerasi yang keliru hanya menghasilkan sekumpulan bankir rakus, yang kemudian berkomplotan merampok dana nasabah, sementara banknya dibiarkan kolaps dan harus jadi tanggungan pemerintah.
Realitas Remunerasi
Berdasarkan alasan di atas, bisa disimpulkan, transparansi memang penting untuk membangun iklim keadilan gaji pekerja di industri perbankan. Namun, ketika transparansi telah berjalan, tak serta merta keadilan telah berlaku. Paling tidak demikian kesimpulan dari hasil riset Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS) terhadap sepuluh bank terbesar di Indonesia berdasarkan aset. Setidaknya ada tiga paradoks yang menunjukkan transparansi gaji belum mampu menciptakan kesetaraan atau keadilan di industri perbankan kita.
Pertama, jurang pendapatan antarabankir masih sangat lebar. Fakta ini terlihat dari rasio remunerasi para eksekutif yang antara satu bank dengan bank yang lain bisa mencapai 5 : 1. Artinya, bila direksi Bank A mendapat imbalan Rp500 juta perbulan, maka sejawatnya di Bank B yang berposisi sama hanya dibayar Rp100 juta perbulan.
Perbedaan gaji yang relatif terlalu jomplang juga terjadi di internal bank, di mana gaji seorang direktur utama bisa mencapai 3,7 kalinya seorang direksi, yang notabene hanya satu level di bawahnya. Artinya, ketika seorang dirut bank mendapat gaji Rp370 juta perbulan, rekannya sesama direksi cuma dihargai Rp100 jutaan.
Kedua, metode perhitungan remunerasi yang belum mengacu prestasi. Hal ini terlihat dari perbandingan remunerasi antarbankir bank papan atas. Misalnya, remunerasi yang diterima sesama bankir di BUMN, yakni BRI dan BNI. Jika mengacu kinerja, seharusnya remunerasi direksi BRI berada di atas BNI. Sebab, sepanjang tahun lalu, BRI mampu menghasilkan laba 300 persen di atas BNI. Tetapi, realitasnya justru remunerasi yang diterima direksi BNI lebih besar daripada koleganya di BRI.
Fakta yang sama juga terjadi pada bankir-bankir swasta. Misalnya, antara Bank Panin dan Bank Permata. Secara kinerja, Panin membukukan laba dua kali lipat lebih besar dari Permata, hingga wajar jika direksinya mendapat bayaran yang lebih besar. Namun yang terjadi eksekutif Permata malah mengantongi pendapatan dua kali yang diperoleh eksekutif Bank Panin.
Ketiga, menjulangnya remunerasi yang diterima bankir berpotensi merugikan stakeholder. Pasalnya, beban gaji bankir yang mencapai 30 persen dari total biaya operasional bank, berkontribusi besar mengakibatkan perbankan nasional kalah efisien di bandingkan Negara lain. Berdasarkan kajian PDAS, dalam kurun lima tahun terakhir, rata-rata rasio BOPO industri perbankan nasional adalah 86 persen. Artinya, untuk mendapatkan pendapatan Rp1, bank nasional harus lebih dahulu merogoh kocek Rp0,86. Angka ini jelas kalah efisien jika dibandingkan, BOPO bank-bank Filipina yang hanya 74 persen atau Malaysia yang sebesar 40 persen.
Bank yang inefisien selain membahayakan dirinya sendiri, juga berisko bagi para stakeholder. Bagi owner, misalnya, inefisiensi berarti keuntungan yang mengecil. Bagi nasabah, inefisiensi bermakna suku bunga yang tidak kompetitif. Bagi pemerintah, inefiseinsi berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan nasional. Singkat kata, inefisiensi yang diakibatkan biaya remunerasi perbankan tersebut berisiko menzholimi para stakeholder lain.
Jadi, jika karena alasan di atas lantas Bank Indonesia (BI) melontarkan gagasan untuk mengintervensi perhitungan remunerasi di industri perbankan bankir, kita seharusnya dapat memahami. Meskipun, di sisi lain, kita juga bisa memaklumi, kalau akan banyak bankir yang menentang wacana tersebut. Alasannya, selain berpotensi mengurangi kocek, intervensi perhitungan remunerasi oleh regulator ini dinilai melanggar azas keadilan. Apalagi belum ada sejarahnya regulator di industri lain, entah itu otomotif, tambang, migas, dan sebagainya, yang membatasi hak pendapatan bagi para pekerjanya. Jadi, mengapa industri perbankan harus berbeda?
Hanya saja, kita juga perlu menilai rencana tersebut dari sudut pandang BI. Pertama, bagaimanapun BI adalah salah satu stakeholder bank. Artinya, BI memiliki kepentingan untuk memastikan kebijakan bank tidak merugikan kepentingan bank sentral dan perekonomian, termasuk kebijakan
dalam pemberian remunasi bagi para bankirnya. Kedua, BI sebagai perwakilan negara tentu saja memiliki hak untuk mengintervensi bank, terutama apabila hal tersebut ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas, seperti menciptakan keadilan atau membangun iklim industri perbankan nasional yang sehat.